Ilustrasi perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang masih menghantui dunia pendidikan Indonesia (Foto: Karikatur Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - Menjelang larut malam, satu kamar kos di kawasan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang yang biasanya sunyi sepi jadi riuh. Pada Senin, 12 Agustus 2024, pukul 23.00 WIB, pemilik kos kaget saat membuka pintu kamar penghuninya.
Di situ terbujur kaku seorang perempuan muda dengan posisi tubuh miring di atas kasurnya. Muka dan pahanya membiru. Tak ada napas lagi. Mati.
Wanita itu dikenal bernama Aulia. Lengkapnya dr Aulia Risma Lestari. Dia mahasiswa kedokteran yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PDSS) Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah.
Abaikan Riset Pembunuh Dokter
Sebelum dokter Aulia ditemukan tewas, pacarnya nya berkali-kali menelpon tapi tidak ada respons. Karena penasaran dan merasa ada tidak beres, meminta temannya mengecek langsung. Benar, Dokter Aulia tewas.
Polisi bergerak ke tempat kejadian. Dokter juga ikut dipanggil, di dekat korban ditemukan obat penenang jenis Roculax. Diduga disuntikkan sendiri oleh korban ke tubuhnya. Kata polisi, mestinya obat tersebut disalurkan melalui infus, bukan secara langsung. Obat ini dianggap penyebab kematiannya.
"Obat untuk pelemas otot, saya enggak bisa ngomong, yang bisa ngomong dokter tapi obat itu seharusnya lewat infus," kata Kapolsek Gajahmungkur, Kompol Agus Hartono.
Bukan obat bius saja yang ditemukan polisi. Di dekat mayat Aulia, ada buku harian yang berisi keluh kesahnya selama menjadi mahasiswi PDSS. Buku itu berisi kegundahan Aulia saat menghadapi dokter-dokter senior di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
"Ibunya memang menyadari anak itu minta resign, sudah enggak kuat. Sudah curhat sama ibunya, satu mungkin sekolah, kedua mungkin menghadapi seniornya, seniornya itu kan perintahnya sewaktu-waktu minta in itu, ini itu, keras," Agus menambahkan.
Kasus bunuh diri Aulia tak langsung mencuat. Baru dua hari pasca kejadian, sebuah akun atas nama @bambangsuling11, membocorkan peristiwa ini di media sosial X, menyoroti adanya percobaan menyembunyikan kasus bunuh diri akibat perundungan (bullying) tersebut dari mata publik. Viral.
Kasus ini rupanya menyita perhatian Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Layanan Kesehatan (Yankes) Kemenkes Nomor TK.02.02/D/44137/2024, program PPDS anestesi Undip di RSUP Dr. Kariadi disetop sementara per 14 Agustus 2024. Surat itu ditandatangani Dirjen Yankes, dr. Azhar Jaya dan ditujukan kepada Direktur Utama RSUP Dr. Kariadi.
"Disampaikan kepada Saudara untuk menghentikan sementara program studi anestesi di RSIP Dr. Kariadi sampai dengan dilakukannya investigasi dan langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh jajaran Direksi Rumah Sakit Kariadi dan FK UNDIP," demikian isi surat yang diterima Jurnas.com.
Sembari melakukan investigasi, Kemenkes juga meminta Undip dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) untuk membenahi sistem PDSS yang dianggap bermasalah. Bahkan, ada ancaman pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR), apabila ditemukan dokter senior yang terbukti melakukan perundungan.
"Mudah-mudahan dalam seminggu sudah ada hasilnya," kata Juru Bicara Kemenkes, Muhammad Syahril dalam pernyataan resminya.
Kamis (15/8) pagi, Universitas Diponegoro (Undip) bereaksi. Prof. Dr. Suharnomo, rektor Undip yang belum genap empat bulan menjabat sejak dilantik pada 29 April 2024, membantah adanya praktik perundungan yang berujung bunuh diri pada dr. Aulia. Dia meyakini korban memang mengalami masalah kesehatan.
"Kami tidak dapat menyampaikan detail masalah kesehatan yang dialami selama proses pendidikan," ujar Prof. Dr. Suharnomo.
Rektor Undip juga menyebut masalah kesehatan Aulia jauh-jauh hari sudah diketahui oleh Pengelola Pendidikan Program Studi Anestesi. Pihak pengelola, menurut klaim Suharnomo, memantau perkembangan kondisi korban saat menjalani studi.
"Almarhumah sempat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, namun karena beliau adalah penerima beasiswa sehingga secara administratif terikat dengan ketentuan penerima beasiswa, sehingga almarhumah mengurungkan niat tersebut," dia menambahkan.
Senada dengan Suharnomo, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), DR. Dr. Moh. Adib Khumaidi juga meminta masyarakat tidak berspekulasi mengenai penyebab kematian Aulia hingga penyeledikan rampung.
Terlepas dari peristiwa itu, dia menekankan pentingnya dukungan kesehatan mental selama PPDS. Karena itu, dia juga mendorong dibentuknya pusat trauma dan evaluasi kesehatan mental secara berkala, untuk memastikan mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan kedokteran dan spesialis menerima perawatan dan dukungan yang diperlukan.
"Mari kita bergandengan tangan untuk mencegah insiden seperti itu di masa mendatang," ujar Dr. Adib.
KEYWORD :Aulia Risma Lestari Undip Universitas Diponegoro