Rabu, 18/09/2024 08:29 WIB

Abaikan Riset Pembunuh Dokter

Kasus bunuh diri dr. Aulia Risma Lestari mestinya bisa dicegah jika pemerintah menindaklanjuti peringatan yang muncul sebelumnya terkait kesehatan mental dokter PPDS.

Infografis tingkat depresi dokter PPDS di Indonesia (Foto: Muti/Jurnas.com)

Jakarta, Jurnas.com - Kasus bunuh diri Dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswa kedokteran yang sedang menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah, harusnya bisa dicegah sejak awal.

Namun entah kenapa, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) mengabaikannya. Padahal masalah kesehatan jiwa dokter PDSS sempat menjadi sorotan.

Apalagi usai Kemenkes menerbitkan penelitian bertajuk `Hasil Skrining Kesehatan Jiwa PPDS RS Vertikal Pendidikan` pada Maret 2024 lalu.

Dalam penelitian tersebut, terungkap bahwa 22,4 persen dokter PDSS mengalami depresi ringan hingga berat. Menariknya, 3,3 persen dari total 12.121 respons (94 persen dari jumlah dokter PDSS secara keseluruhan) merasa lebih baik mati dan ingin melukai diri dengan cara apapun.

"2,7 persen merasakan hal ini (ingin mati atau bunuh diri) beberapa hari, 0,4 persen merasakan ini lebih dari separuh waktu, dan 0,2 persen merasakan ini hampir setiap hari," demikian bunyi riset yang diterima Jurnas.com pada Kamis (15/8).

Sayangnya, sejak riset itu diterbitkan, tak ada langkah nyata. Aulia juga sudah meregang nyawa di ujung jarum bius yang menghentikan denyut nadinya, sendirian di dalam kamar kos yang sepi di kawasan Lempongsari.

Ucapan belasungkawa yang mengalir dari berbagai pihak, sekaligus menutup lembaran perjalanan perempuan 30 tahun itu di tengah perjuangannya menjadi dokter spesialis anestesi. Selamat jalan, dr. Aulia Risma Lestari.

Jurnas.com menerima kiriman surat dari pembaca yang memberi masukan sehubungan dengan dokter PPDS anestesi Undip yang bunuh diri. Dia bertanya, “Apakah bisa Kemenkes lakukan audit menyeluruh program PPDS anestesi di RS Kariadi?

Di samping urusan perundungan (bullying), dia merasa cukup sering mendapatkan masukan bahwa beban kerja PPDS anestesi di RS Kariadi terlalu berat. Misalnya, jam kerja `normal` tanpa giliran jaga adalah 18 jam/hari. Masuk jam 6 pagi, pulang jam 12 malam. Kalau bisa pulang jam 11 malam artinya pulang cepat.

"Tidak jarang harus pulang jam 2 atau 3 pagi. Hari berikutnya sudah harus standby lagi jam 6 pagi di RS. Ini berlangsung terus menerus selama masa studi lima tahun," tulis surat itu.

Jika dapat giliran jaga, maka jaga minimal 24 jam dan dapat prolonged hingga 5-6 hari tidak bisa pulang dari rumah sakit. Dikarenakan sering kali PPDS harus melanjutkan operasi yang terus sambung menyambung melebihi giliran jaganya.

"Jumlah operasi di RS Kariadi sangat tinggi, bisa 120 pasien/hari. Sedangkan, semua beban kerja bius pasien dilakukan oleh PPDS. DPJP sebagai penanggung jawab hanya menerima laporan," ujarnya.

Lamanya jam kerja yang terus menerus ini tidak pernah dianggap tidak wajar, selama ini bahkan dianggap sebagai keunggulan Undip dibandingkan universitas lainnya.

"Residen dianggap bisa dapat kesempatan praktik lebih luas," tulisnya.

"Mohon izin memberi masukan dan memohon arahan agar bisa dilakukan audit menyeluruh, untuk mencegah terjadinya korban PPDS lainnya," ujar dia lagi.

Dia juga menyarankan supaya pemerintah dan rumah sakit menambah jumlah dokter anestesi dan memastikan mereka benar-benar turun tangan menangani pasien.

"Agar beban kerja bius pasien tidak hanya ditanggung PPDS dan menjaga keselamatan pasien juga," dia menambahkan.

Entah negara dengar atau tidak.

KEYWORD :

Undip Dokter Spesialis Aulia Risma Lestari




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :