Kamis, 19/09/2024 08:12 WIB

DPR RI Disebut Pertontonkan Pembangkangan Putusan MK

Manuver DPR RI yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Pilkada dinilai sebagai pembangkangan terhadap putusan MK selaku lembaga tinggi negara yang ditugaskan konstitusi mengawal UUD 1945.

Ilustrasi Gedung DPR

Jakarta, Jurnas.com - Manuver DPR RI yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Pilkada dinilai sebagai pembangkangan terhadap putusan MK selaku lembaga tinggi negara yang ditugaskan konstitusi mengawal UUD 1945.

Penilaian itu disampaikan Eks hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, Rabu (21/8). Menurutnya, manuver para wakil rakyat yang duduk di DPR RI telah mempertontonkan bagaimana pembangkakan secara telanjang atas putusan pengadilan kepada rakyat.

"MKMK tidak perlu bersikap apa-apa, kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg (Badan Legislasi) DPR. Tapi cara ini, buat saya pribadi, adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan," tegas Palguna.

Menurutnya, situasi ini sangat ironis. Bagaimana tidak, putusan pengadilan yang dikangkangi DPR adalah putusan MK selaku lembaga tinggi negara yang ditugaskan konstitusi mengawal UUD 1945.

"MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan," kata Palguna.

"Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapekan (untuk melawan)," tegasnya.

Diketahui, hasil rapat Baleg kemarin telah mengakali sejumlah putusan penting MK terkait UU Pilkada. Baleg, misalnya, menolak menjalankan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 soal syarat usia minimum calon kepala daerah.

Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa titik hitung usia minimum calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU.

Selain itu, Baleg juga mengakali Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.

Diketahui, putusan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 itu dibacakan di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Partai Buruh dan Partai Gelora sebelumnya menggugat Undang-Undang (UU) Pilkada. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional.

Isi Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada adalah:

“Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,” demikian bunyi Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada.

Dalam putusannya, MK mengubah isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menjadi: Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut.

“b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut,” kata Ketua MK Suhartoyo.

Kemudian huruf c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut.

“d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut,” ungkap Suhartoyo.

Selanjutnya, untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:

a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di kabupaten/kota tersebut

b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai 500 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di kabupaten/kota tersebut

c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 500 ribu sampai 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di kabupaten/kota tersebut

“d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di kabupaten/kota tersebut,” ujar Suhartoyo.

KEYWORD :

DPR Bangkang Putusan MK Putusan MK Mahkamah Konstitusi UU Pilkada




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :