KH Moch Shofwan Taj, Pengasuh Pesantren Sembilangan Bangkalan Jawa Timur (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Polemik tak berkesudahan dan kontroversi yang ditimbulkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama meresahkan warga Nahdliyyin. Perkara ini tidak ada presedennya dalam sejarah NU, terutama karena usia konflik yang cukup panjang. Semua bermula pasca Muktamar ke-34 NU di Lampung, Desember 2021. Sebenarnya apa yang sedang terjadi perlu didedahkan dengan gamblang.
Semula tidak ada yang menyangka Muktamar sebagai kegiatan rutin NU berubah sangat politis. Joko Widodo alias Jokowi selaku presiden RI memberikan sambutan pembukaan, dengan menyelipkan suatu janji manis. Tak seorang pun mengerti di balik ‘kampanye’ itu mengandung kepentingan yang baru terbongkar di kemudian hari.
Udang di balik batu itu ketahuan pada detik-detik menjelang Pemilihan Presiden 2024. Seperti pepatah lama “There ain`t no such thing as a free lunch". PBNU jangan pernah berpikir mendapatkan makan siang gratis, tanpa perlu berkeringat. Saifullah Yusuf atau Gus Ipul selaku Sekretaris Jenderal PBNU terlihat satu-satunya orang paling antusias berkampanye.
Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya maupun Rais Aam PBNU Miftachul Akhyar tidak berkutik di hadapan strategi dan langkah politis Sang Sekjend itu. Kata pepatah siapa yang menanam dia yang memanen. Kini Gus Ipul pun memanen kerja kerasnya selama ini. Jokowi menobatkannya sebagai Menteri Sosial (Mensos).
Kesimpulan-kesimpulan semacam itu baru terang-benderang di mata publik belakangan ini. Karena media massa menyajikan data satu persatu untuk membuktikannya. Tetapi, sebagai pelaku utama sejarah, KH. Abdus Salam Shohib alias Gus Salam dan Abdurrohman Al-Kautsar atau Gus Kautsar menyadari substansi perkara. Mereka berdua mengundurkan diri sejak awal dari kepengurusan PBNU periode 2022-2027.
Langkah Gus Salam dan Gus Kautsar paling banter hanya mengundurkan diri. Karena mereka tidak memiliki kosa kata atau diksi yang tepat untuk menjelaskan bagaimana kepengurusan PBNU hasil Muktamar Lampung telah keluar dari Khitthah. Orang Jawa menyebutnya "Weruh sakdurunge winarah" atau tahu sebelum sesuatu terjadi.
Mereka yang tahu sebelum suatu perkara terjadi sudah pasti kekurangan basis epistemologis untuk menyampaikannya kepada publik. Manusia modern lebih mengandalkan data, fakta, dan peristiwa empiris dari pada pengetahuan abstrak. Barulah belakangan kita menjadi tahu mengapa PBNU berjuang mati-matian untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran, dan itu relevan dengan jatah konsesi tambang yang PBNU dapatkan sesuai janji Jokowi di Muktamar.
Kiai NU Dorong Muktamar Luar Biasa PBNU
PBNU sudah bermetamorfosa dari Jam’iyah Diniyyah Ijtima’iyah atau organisasi sosial keagamaan menjadi semi partai politik. Metamorfosa ini sudah dipahami secara objektif oleh Gus Salam dan Gus Kautsar. Hanya saja peristiwa-peristiwanya belum terjadi, sehingga tidak ada satu pun diksi yang tepat untuk dikatakan. Namun, ketika semua fakta dan peristiwa terjadi maka Gus Salam bersama kiai-kiai khas NU mendapatkan satu diksi yang pas untuk meluruskan PBNU, yaitu “Muktamar Luar Biasa (MLB).”
Menimbang MLB dari Perspektif Konstitusi NU
NU sebagai organisasi memiliki tiga payung hukum yang melandasinya; Qanun Asasi, AD/ART dan Naskah Khitthah. Qanun Asasi berisi tentang pentingnya persatuan secara umum dan persatuan secara khusus dalam Jam’iyah. AD/ART mengatur bagaimana Jam’iyah atau organisasi ini dijalankan secara teknis. Dan naskah Khitthah berisi tentang mana jalan dan arah yang harus ditempuh organisasi.
Tiga konstitusi NU tersebut dianggap telah dilanggar secara massif dan struktural oleh para pengurus NU produk Muktamar Lampung. Persatuan telah dirobek hingga tercabik-cabik sejak PBNU memutuskan memberikan dukungan penuh kepada pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres. Warga NU gelisah tak kepalang tanggung melihat PBNU memobilisir organisasi secara struktural untuk memenangkan Prabowo-Gibran.
Pelanggaran terhadap Qanun Asasi yang mengajarkan persatuan berkaitan erat dengan pelanggaran terhadap Khitthah 1926. Sejak Muktamar Sitobondo 1984 telah disepakati bahwa NU bukan organisasi politis dan menarik diri dari politik praktis. Jika pun warga NU mau berpolitik praktis maka harus atas nama pribadi, yang hak-haknya telah dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945; yaitu hak untuk berserikat.
Pelanggaran-pelanggaran terhadap Qanun Asasi dan Khitthah adalah pelanggaran yang sama terhadap AD/ART organisasi. Hal itu diatur secara khusus dalam Anggaran Dasar (AD) Bab XIV Penutup Pasal 33, yang menyebutkan Naskah Khitthah Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari Anggaran Dasar ini. Dengan berpolitik praktis dan mengamini politik transaksional melalui pemenangan Prabowo-Gibran, PBNU telah melanggar Pasal 33 Anggaran Dasar organisasi NU.
Pelanggaran terhadap AD Bab XIV Penutup Pasal 33 tentang Naskah Khitthah merupakan suatu tindakan yang memiliki konsekuensi hukum. Hukuman bagi pelanggaran terhadap AD diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Pasal 74 ayat (1), yang menyebutkan bahwa Muktamar Luar Biasa (MLB) dapat diselenggarakan apabila Rais `Aam dan/atau Ketua Umum Pengurus Besar melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Hemat penulis, Pengurus Besar NU produk Muktamar Lampung tidak saja melanggar Naskah Khittah dan Anggaran Dasar Pasal 33. Namun, Pengurus Besar Produk Muktamar Lampung juga melanggar Qanun Asasi. Untuk itulah, Muktamar Luar Biasa (MLB) harus diwujudkan, bukan hanya untuk mengawal Khitthah dan Qanun Asasi tetapi untuk mewujudkan Pasal 33 AD dan Pasal 74 ART. Sebab MLB adalah amanah konstitusi itu sendiri.
Penulis :
KH Moch Shofwan Taj
Pengasuh Pesantren Sembilangan Bangkalan Jawa Timur
MLB NU Muktamar Luar Biasa Moch Sofwan Taj