Minggu, 22/09/2024 11:53 WIB

Surplus Perdagangan Perikanan Januari-Agustus Tembus US$3,41 Miliar

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengumumkan bahwa Indonesia berhasil mencatatkan surplus sebesar US$3,41 miliar

Ekspor produk perikanan Indonesia (Foto: Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengumumkan bahwa Indonesia berhasil mencatatkan surplus sebesar US$3,41 miliar dalam neraca perdagangan perikanan periode Januari-Agustus 2024.

Surplus ini diperoleh karena Indonesia mempertahankan status sebagai eksportir netto produk perikanan. Adapun impor hanya berlaku untuk komoditas perikanan yang tidak memiliki substitusi lokal dan dibutuhkan oleh industri pengolahan spesifik, serta untuk keperluan hotel, restoran dan katering (horeka).

Kebijakan terkait impor diatur secara ketat melalui sejumlah regulasi seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri.

Selain itu, terdapat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2024 tentang Neraca Komoditas, dan Permen KP Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Neraca Komoditas Perikanan sebagaimana diubah melalui Permen KP Nomor 14 Tahun 2024.

"Semua regulasi ini dalam rangka pengendalian impor dan sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pada nelayan dan pembudidaya sekaligus proteksi terhadap ikan lokal," kata Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP), Budi Sulistiyo melalui keterangan tertulisnya di Jakarta pada Sabtu (21/9).

Budi mengatakan mekanisme impor terintegrasi dengan Indonesia National Single Window (INSW) yang memudahkan pengawasan dan transparansi dalam proses impor. Adapun pengawasan terhadap impor perikanan melibatkan sejumlah instansi seperti Ditjen Bea dan Cukai serta Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP).

"Artinya pengawasan ini dilakukan secara ketat untuk memastikan bahwa impor digunakan sesuai dengan peruntukannya, misalnya untuk kebutuhan pengolahan atau konsumsi," dia menambahkan.

Sementara keputusan impor dilakukan melalui koordinasi antar lembaga terkait yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tambah Budi, dalam praktiknya KKP juga dilakukan peninjauan rutin untuk menyesuaikan pasokan dan kebutuhan dalam negeri.

"Pelaksanaan impor ikan mempertimbangkan ketersediaan pasokan dan kebutuhan domestik yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi lokal," ujar Budi.

Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga Agustus 2024, beberapa komoditas impor meliputi makarel mengalami penurunan (- 60,82 persen), rajungan-kepiting jenis tertentu (-26,18 persen), ikan cod (-17,04 persen), dan tepung ikan (-24,48 persen) apabila dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama.

Sama halnya data BPS dari 502 HSCODE tahun 2022 terkait produk perikanan, sepanjang Januari-Agustus 2024, total impor perikanan mencapai US$315,51 juta. Di saat yang sama, ekspor perikanan Indonesia senilai US$3,73 miliar.

"Dengan surplus perdagangan sebesar US$3,41 miliar, ini menunjukkan bahwa meskipun ada impor, Indonesia tetap merupakan eksportir netto di sektor perikanan," kata Budi.

Adapun ekspor perikanan terbesar Indonesia meliputi udang (US$1,03 miliar) dan tuna-cakalang-tongkol (US$651,59 juta). Merujuk surplus neraca perdagangan tersebut, Budi menekankan impor perikanan yang dilakukan pelaku usaha ditujukan untuk memenuhi kebutuhan spesifik industri dan pasar yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Jenis ikan yang diimpor diantaranya salmon-trout (US$47,27 juta), makarel (US$38,33 juta), rajungan jenis tertentu (US$38,13 juta), dan cod (US$23,31 juta).

Negara asal impor adalah Tiongkok sebesar US$49,97 juta (menurun 50,81 persen), Norwegia sebesar US$31,41 juta, Amerika Serikat sebesar US$26,43 juta, Korea Selatan sebesar US$22,25 juta, dan Jepang sebesar US$15,45.

"Salmon-trout, misalnya, tidak memiliki substitusi lokal dan dibutuhkan oleh industri pengolahan tujuan ekspor dan kebutuhan horeka," terang Budi.

Karenanya, Budi memastikan penurunan impor makarel yang cukup signifikan (-60,81 persen) menunjukkan ketergantungan terhadap beberapa jenis ikan impor bisa menurun. Selain itu, pada periode Januari-Agustus 2024, nilai impor produk perikanan menurun sebesar 30,0 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023.

"Di tahun 2024, Pemerintah tidak memberikan alokasi tambahan untuk impor ikan makarel (salem/ scomber japonicus) mengingat pasokan dari produksi dalam negeri mencukupi," tutup Budi.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyegel 20 ton ikan salem impor di Batam, Kepulauan Riau. Penyegelan itu dilakukan karena ikan itu dijual di pasar lokal dan berpotensi merugikan nelayan lokal. Trenggono mengingatkan ikan salem impor diperuntukan bagi industri pemindangan, bukan langsung dijual di pasar lokal.

KEYWORD :

Kementerian Kelautan dan Perikanan Neraca Perdagangan Surplus Ekspor




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :