Ketua MPR, Bambang Soesatyo. (Foto: Humas MPR)
Jakarta, Jurnas.com - Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum FKPPI dan Kepala Badan Bela Negara FKPPI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menuturkan sejak awal berdirinya negara Republik Indonesia, konsepsi bela negara telah memiliki makna penting dan krusial. Para pendiri bangsa menempatkan bela negara pada posisi sentral dengan merumuskannya secara eksplisit dalam Konstitusi yang mengamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
"Rumusan di atas setidaknya mengisyaratkan dua pesan penting. Pertama, bahwa upaya bela negara adalah tanggungjawab bersama segenap warga negara, tanpa kecuali. Kedua, bahwa bela negara memiliki dua dimensi implementasi, yakni sebagai hak warga negara untuk berpartisipasi, dan sebagai kewajiban manakala kondisi mengharuskan partisipasi warga negara," ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Himpunan Putra Putri Keluarga Angkatan Darat (HIPAKAD) di Jakarta, Jumat (20/9/24).
Bamsoet menjelaskan, bela negara tidak sesederhana dimaknai sebagai kesiapsiagaan setiap warga negara untuk memanggul senjata manakala diperlukan. Bela negara juga tidak hanya dimaknai sebagai kesanggupan setiap warga negara menjadi sumberdaya komponen cadangan negara, sebagai penopang kekuatan militer.
"Konsepsi bela negara sendiri memiliki spektrum pemaknaan yang luas. Yaitu sebagai tekad, sikap, dan tindakan dari setiap warga negara yang dilandasi oleh rasa cinta tanah air, kesadaran dan komitmen untuk berbakti pada negara, kesediaan berkorban demi kepentingan negara, serta menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara dari berbagai ancaman," kata Bamsoet.
Bamsoet menguraikan, dalam perkembangannya manifestasi dan implementasi dari konsep `bela negara` mulai mengalami pergeseran paradigma. Seiring dengan dinamika dan perkembangan zaman, ancaman terhadap keamanan nasional tidak lagi bersifat kasat mata dan konvensional. Tetapi juga bersifat kompleks, serta berdimensi ideologis.
"Untuk menghadapi ancaman yang bersifat konvensional, maka fokus perhatian kita akan bertumpu pada seberapa kuat kekuatan militer yang kita miliki. Jika merujuk pada data Global Fire Power, kekuatan militer Indonesia menempati urutan ke-13 di dunia. Namun sekali lagi, konsepsi bela negara tidak boleh dimaknai secara sempit, hanya sebatas upaya menjaga dan melindungi negara dari ancaman militer," kata Bamsoet.
Bamsoet memaparkan, ancaman konvensional dapat dikalkulasi dengan perhitungan matematis, dan disikapi dengan strategi militer terukur. Namun, ancaman non militer yang bersifat kasat mata, kompleks, dan berdimensi ideologis, jutsru menghadirkan tantangan yang tidak mudah ditanggulangi.
"Ancaman yang berdimensi ideologis tersebut mewujud dalam beragam fenomena. Antara lain berkembangnya sikap intoleransi dalam kehidupan
masyarakat, tumbuhnya radikalisme dan terorisme, munculnya sikap disintegrasi hingga separatisme, serta beragam bentuk ancaman lainnya yang menggerus sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa kita," urai Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, memaknai konsep bela negara secara komprehensif adalah integrasi dari upaya mempertahankan kedaulatan negara dalam segala aspek dan dimensinya. Baik dalam kedaulatan politik, kedaulatan ideologi, kedaulatan pertahanan keamanan, kedaulatan wilayah teritorial, kedaulatan ekonomi, maupun kedaulatan sosial budaya.
Melalui derasnya arus globalisasi yang menembus batas-batas teritorial, berbagai ancaman ideologis semakin terasa nyata. Nilai-nilai asing yang merasuk melalui globalisasi mulai menggeser nilai-nilai kearifan lokal kita, dan menggerus nilai-nilai ke-Indonesiaan.
"Disinilah urgensi menghadirkan konsep bela negara dalam dimensi ideologis. Diperlukan pembaruan paradigma dan pengembangan strategi bela negara yang sesuai dengan kebutuhan zaman," pungkas Bamsoet.
KEYWORD :Kinerja MPR Bambang Soesatyo Empat Pilar HIPAKAD Bela Negara