Ketua Pansus Angket Haji DPR RI, Nusron Wahid. (Foto: Dok. Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Ketua Pansus Angket Haji DPR RI, Nusron Wahid membacakan kesimpulan penyelidikan terkait penyelenggaraan ibadah haji 2024 yang dilakukan beberapa bulan belakangan.
Salah satu kesimpulan menyebutkan bahwa Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah haji masih berperan double sebagai regulator dan operator.
Berikut sembilan kesimpulan Pansus Angket Haji yang dibacakan Nusron Wahid di Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9):
Pertama, Kelembagaan.
Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah haji masih berperan double sebagai regulator dan operator. Sementara dalam
penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi tidak lagi menggunakan
pendekatan Government to Government akan tetapi berubah menjadi
Government to Bussines, sehingga pelayanannya diberikan kepada pihak
syarikah menggunakan kerangka bisnis.
Kedua, Kebijakan
1. Dalam pembagian Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 H/2024 M,
Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji dan Umrah, tentang alokasi kuota ditetapkan kuota haji
khusus sebesar 8% dari kuota haji Indonesia.
2. Kementerian Agama c.q. Dirjen PHU melakukan ketidakpatuhan
dengan mengajukan pencairan nilai manfaat pada tanggal 10 Januari
2024 sebelum diterbitkannya KMA No. 130 Tahun 2024 pada tanggal
15 Januari 2024 yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota.
Ketiga, Distribusi Kuota Haji
1. Pengisian kuota haji reguler untuk jemaah yang membutuhkan
pendamping, penggabungan, dan pelimpahan porsi masih ada celah
atau kelemahan dimana pendamping diisi oleh jemaah haji reguler
yang bukan mahromnya.
2. Sampai tahun 2024, Kementerian Agama masih belum mengupayakan
secara maksimal untuk menyelesaikan masalah 5,678 nomor porsi
kuota "batu" yaitu porsi haji reguler yang belum diketahui secara pasti
dimana jemaah haji berada/bertempat tinggal.
3. Terdapat ketidaksinkronan antara Keputusan Direktorat Jendaral
Penyelenggara Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 tertanggal 29
Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji
Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijria dan Surat Edaran Direktur Bina Haji Khusus dan
B-116038/DJ/Dt.II.IV.2/HJ.00/2/2024 tentang Penyampaian Daftar
Nama Jemaah Haji Khusus Berhak Lunas Pengisian Sisa Kuota Tahun
1445H/2024M dengan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Pasal 65 ayat
(2).
4. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI sebagai aparatur
pengawas internal tidak menjadikan pembagian kuota haji tambahan
tahun 2024 sebagai obyek pengawasan, sementara pembagian
tambahan kuota haji tahun 1445 H/2024 M ada potensi tidak sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Keempat, Siskohat dan Siskopatuh
1. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) tidak bisa terjamin
keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala.
Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat
mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit
Pendaftaran Haji Reguler, Subdit Haji Khusus, Subdit Dokumentasi,
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, Kantor Kementerian
Agama Kabupaten / Kota, Bank Penerima Setoran Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji sehingga rawan diintervensi dan
membuka celah orang yang tidak berhak berangkat haji dapat
berangkat haji.
2. Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus
(Siskopatuh) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit
terhadap sistem secara berkala. Selain itu, terlalu banyaknya
pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat
di Kementerian Agama RI, Subdit Perizinan, akreditasi dan Bina Haji
Khusus, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
dan umrah, dan PIHK sehingga rawan diintervensi dan membuka
peluang orang berangkat haji tanpa antrian.
3. Lemahnya pengawasan terhadap verifikator yang ditandai dengan
adanya jemaah haji yang tidak sesuai dengan Siskohat serta celah perubahan data.
Kelima, Pendaftaran
1. Di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang
Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus; Keputusan Menteri Agama
Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan
Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III
Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU No. 118 Tahun 2024 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan
Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, prosedur
pengisian sisa kuota tidak mencerminkan keadilan. Ketentuan
tersebut mengakibatkan adanya praktik pemberangkatan 3.503
jemaah haji khusus dengan status tanpa antri (mendaftar tahun 2024
dan berangkat tahun 2024).
2. Ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menentukan pemenuhan kuota
haji khusus berbasis usulan data dari PIHK dan kesiapan jemaah.
Ketentuan ini membuka peluang penyalahgunaan kesempatan oleh PIHK, dan berpotensi melanggar asas keadilan. Penyalahgunaan
kesempatan tersebut berupa mengubah urutan keberangkatan
dan/atau tahun keberangkatan.
Keenam, Nilai Manfaat
Dalam mempergunakan nilai manfaat, ditemukan adanya ketidakadilan,
dimana mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai
manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jemaah haji lain yang berada
pada daftar antrian.
Ketujuh, Jemaah Cadangan Lunas Tunda
Jumlah Jemah Haji Lunas tunda sampai tahun 2024 adalah sebesar 30%
dari kuota haji nasional. Seharusnya merekalah yang diprioritaskan untuk
diberangkatkan terlebih dahulu. Namun, karena ada mekanisme
penggabungan mahrom, jemaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas
tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya. Hal tersebut menimbulkan
ketidakadilan bagi jemaah lunas tertunda keberangkatannya
Kedelapan, Pelaporan dan Pengawasan
Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur tentang pelaporan
pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada
Menteri. Ketentuan ini tidak dilengkapi dengan ketentuan sanksi bagi PIHK
yang tidak dilaporkan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan
kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan
jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR RI setelah penyelenggaraan Haji.
Kesembilan, Pelayanan
Pelayanan di Armuzna dan selama pelaksanaan rangkaian ibadah haji
banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan.
KEYWORD :
Warta DPR Pansus Haji kesimpulan rapat paripurna Golkar Nusron Wahid