Senin, 30/09/2024 16:37 WIB

Nusron Bacakan Kesimpulan Penyelidikan Pansus Haji di Paripurna, Berikut Isi Lengkapnya

Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah haji masih berperan double sebagai regulator dan operator.

Ketua Pansus Angket Haji DPR RI, Nusron Wahid. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Ketua Pansus Angket Haji DPR RI, Nusron Wahid membacakan kesimpulan penyelidikan terkait penyelenggaraan ibadah haji 2024 yang dilakukan beberapa bulan belakangan.

Salah satu kesimpulan menyebutkan bahwa Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah haji masih berperan double sebagai regulator dan operator.

Berikut sembilan kesimpulan Pansus Angket Haji yang dibacakan Nusron Wahid di Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/9):

Pertama, Kelembagaan.

Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah haji masih berperan double sebagai regulator dan operator. Sementara dalam

penyelenggaraan ibadah haji di Arab Saudi tidak lagi menggunakan

pendekatan Government to Government akan tetapi berubah menjadi

Government to Bussines, sehingga pelayanannya diberikan kepada pihak

syarikah menggunakan kerangka bisnis.

Kedua, Kebijakan

1. Dalam pembagian Kuota Haji Tambahan Tahun 1445 H/2024 M,

Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan terhadap Pasal 64 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan

Ibadah Haji dan Umrah, tentang alokasi kuota ditetapkan kuota haji

khusus sebesar 8% dari kuota haji Indonesia.

2. Kementerian Agama c.q. Dirjen PHU melakukan ketidakpatuhan

dengan mengajukan pencairan nilai manfaat pada tanggal 10 Januari

2024 sebelum diterbitkannya KMA No. 130 Tahun 2024 pada tanggal

15 Januari 2024 yang seharusnya menjadi basis penghitungan kuota.

Ketiga, Distribusi Kuota Haji

1. Pengisian kuota haji reguler untuk jemaah yang membutuhkan

pendamping, penggabungan, dan pelimpahan porsi masih ada celah

atau kelemahan dimana pendamping diisi oleh jemaah haji reguler

yang bukan mahromnya.

2. Sampai tahun 2024, Kementerian Agama masih belum mengupayakan

secara maksimal untuk menyelesaikan masalah 5,678 nomor porsi

kuota "batu" yaitu porsi haji reguler yang belum diketahui secara pasti

dimana jemaah haji berada/bertempat tinggal.

3. Terdapat ketidaksinkronan antara Keputusan Direktorat Jendaral

Penyelenggara Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 tertanggal 29

Januari 2024 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji

Khusus Tambahan dan Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijria dan Surat Edaran Direktur Bina Haji Khusus dan

B-116038/DJ/Dt.II.IV.2/HJ.00/2/2024 tentang Penyampaian Daftar

Nama Jemaah Haji Khusus Berhak Lunas Pengisian Sisa Kuota Tahun

1445H/2024M dengan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Pasal 65 ayat

(2).

4. Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI sebagai aparatur

pengawas internal tidak menjadikan pembagian kuota haji tambahan

tahun 2024 sebagai obyek pengawasan, sementara pembagian

tambahan kuota haji tahun 1445 H/2024 M ada potensi tidak sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang

Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Keempat, Siskohat dan Siskopatuh

1. Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) tidak bisa terjamin

keamanannya, karena tidak ada audit terhadap sistem secara berkala.

Selain itu, terlalu banyaknya pemangku kepentingan yang dapat

mengakses seperti Subdit Siskohat di Kementerian Agama RI, Subdit

Pendaftaran Haji Reguler, Subdit Haji Khusus, Subdit Dokumentasi,

Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi, Kantor Kementerian

Agama Kabupaten / Kota, Bank Penerima Setoran Biaya

Penyelenggaraan Ibadah Haji sehingga rawan diintervensi dan

membuka celah orang yang tidak berhak berangkat haji dapat

berangkat haji.

2. Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus

(Siskopatuh) tidak bisa terjamin keamanannya, karena tidak ada audit

terhadap sistem secara berkala. Selain itu, terlalu banyaknya

pemangku kepentingan yang dapat mengakses seperti Subdit Siskohat

di Kementerian Agama RI, Subdit Perizinan, akreditasi dan Bina Haji

Khusus, Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji

dan umrah, dan PIHK sehingga rawan diintervensi dan membuka

peluang orang berangkat haji tanpa antrian.

3. Lemahnya pengawasan terhadap verifikator yang ditandai dengan

adanya jemaah haji yang tidak sesuai dengan Siskohat serta celah perubahan data.

Kelima, Pendaftaran

1. Di dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 226 Tahun 2023 tentang

Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus; Keputusan Menteri Agama

Nomor 1063 Tahun 2023 tentang Setoran Pelunasan Biaya Perjalanan

Ibadah Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, dan BAB III

Poin B, Keputusan Direktur Jenderal PHU No. 118 Tahun 2024 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pemenuhan Kuota Haji Khusus Tambahan dan

Sisa Kuota Haji Khusus Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, prosedur

pengisian sisa kuota tidak mencerminkan keadilan. Ketentuan

tersebut mengakibatkan adanya praktik pemberangkatan 3.503

jemaah haji khusus dengan status tanpa antri (mendaftar tahun 2024

dan berangkat tahun 2024).

2. Ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU No. 8 Tahun 2019 tentang

Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menentukan pemenuhan kuota

haji khusus berbasis usulan data dari PIHK dan kesiapan jemaah.

Ketentuan ini membuka peluang penyalahgunaan kesempatan oleh PIHK, dan berpotensi melanggar asas keadilan. Penyalahgunaan

kesempatan tersebut berupa mengubah urutan keberangkatan

dan/atau tahun keberangkatan.

Keenam, Nilai Manfaat

Dalam mempergunakan nilai manfaat, ditemukan adanya ketidakadilan,

dimana mereka yang belum berhak untuk berangkat menggunakan nilai

manfaat tahun berjalan yang didapatkan dari jemaah haji lain yang berada

pada daftar antrian.

Ketujuh, Jemaah Cadangan Lunas Tunda

Jumlah Jemah Haji Lunas tunda sampai tahun 2024 adalah sebesar 30%

dari kuota haji nasional. Seharusnya merekalah yang diprioritaskan untuk

diberangkatkan terlebih dahulu. Namun, karena ada mekanisme

penggabungan mahrom, jemaah lansia dan disabilitas, hak jemaah haji lunas

tunda menjadi tidak pasti keberangkatannya. Hal tersebut menimbulkan

ketidakadilan bagi jemaah lunas tertunda keberangkatannya

Kedelapan, Pelaporan dan Pengawasan

Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang

Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur tentang pelaporan

pelaksanaan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (PIHK) kepada

Menteri. Ketentuan ini tidak dilengkapi dengan ketentuan sanksi bagi PIHK

yang tidak dilaporkan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan

kontrol Kementerian Agama terhadap jumlah keberangkatan dan kepulangan

jemaah haji khusus oleh PIHK yang seharusnya dilaporkan kepada DPR RI setelah penyelenggaraan Haji.

Kesembilan, Pelayanan

Pelayanan di Armuzna dan selama pelaksanaan rangkaian ibadah haji

banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan ketentuan, kontrak dan standar pelayanan.

 

 

 

 

 

KEYWORD :

Warta DPR Pansus Haji kesimpulan rapat paripurna Golkar Nusron Wahid




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :