Selasa, 29/10/2024 01:38 WIB

Kasus Zarof Ricar Dinilai Bisa Jadi Pintu Masuk Bongkar Mafia Peradilan

Setidaknya terdapat tiga potensi kejahatan Zarof lainnya yang harus didalami oleh Kejagung.

Gedung Mahkamah Agung (Foto: Youtube Mahkamah Agung Republik Indonesia)

Jakarta, Jurnas.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kasus dugaan suap pengurusan perkara yang menyeret mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar bisa menjadi pintu masuk Kejaksaan Agung (Kejagung) membongkar mafia peradilan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan penemuan barang bukti berupa uang tunai sejumlah ratusan miliar dan puluhan kilogram emas di rumah Zarof bisa menjadi petunjuk.

"Penangkapan mantan pejabat MA, Zarof Ricar, oleh Kejaksaan Agung harusnya menjadi pintu masuk bagi penyidik untuk membongkar kotak pandora mafia peradilan di lembaga kekuasaan kehakiman," ujar Kurnia melalui keterangan tertulis, Senin 28 Oktober 2024.

Kurnia mengatakan temuan bukti tersebut sangat janggal mengingat harta kekayaan Zarof pada Maret 2022 hanya berjumlah Rp51,4 miliar. 

"Tentu uang ratusan miliar tersebut terbilang janggal dan patut ditelusuri lebih lanjut," imbuhnya.

Lebih lanjut, Kurnia mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga potensi kejahatan Zarof lainnya yang harus didalami oleh tim penyidik Kejagung.

Pertama, terkait suap-menyuap. Suap dimaksud terjadi apabila uang atau emas yang ditemukan di kediaman Zarof adalah hasil dari pengurusan suatu perkara di MA atau pengadilan lainnya.

Sekalipun Zarof bukan hakim, kata Kurnia, tetap ada kemungkinan yang bersangkutan merupakan broker atau perantara suap kepada oknum internal MA.

"Praktik dengan modus memperdagangkan pengaruh yang serupa dengan kasus tersebut pernah terjadi yakni saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kejahatan mantan Sekretaris MA Nurhadi," kata Kurnia.

Kedua, terkait gratifikasi. Kurnia mengatakan temuan uang dan bongkahan emas itu membangun asumsi bahwa itu didapatkan Zarof dari sejumlah pihak yang tak bisa dijelaskan asal-usulnya atau tergolong sulit menelusuri pemberinya.

Jika menggunakan delik gratifikasi (Pasal 12B UU Tipikor), maka beban pembuktian akan berpindah dari penuntut umum ke Zarof.

Pembuktian terbalik tersebut akan menyasar terdakwa bila tak bisa menjelaskan secara utuh disertai dengan bukti relevan mengenai harta yang ditemukan penyidik di kediamannya.

Ketiga, pencucian uang. Menurut Kurnia, delik ini mungkin diterapkan tim penyidik apabila ditemukan bukti perolehan harta hasil kejahatan disembunyikan oleh Zarof.

"Lebih jauh lagi, pelaku dalam konteks pencucian uang tidak hanya dapat menjerat Zarof, melainkan juga pihak lain yang turut menerima dana hasil kejahatan," ungkap Kurnia.

Kondisi ini semakin menambah panjang daftar insan peradilan yang terjerat korupsi. Berdasarkan catatan ICW, sudah ada 26 hakim yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi sepanjang 2011-2023.

Oleh karena itu, Kurnja menuntut tiga rekomendasi untuk memperbaiki kondisi yang sudah semakin mengkhawatirkan tersebut. Pertama, meminta Ketua MA Sunarto untuk menjamin proses hukum yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tidak akan diintervensi oleh pihak manapun.

Dalam rangka preventif ke depan, ICW meminta MA berkoordinasi dengan pemangku kepentingan lain seperti Komisi Yudisial (KY), Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk menyusun pemetaan terhadap korupsi di sektor peradilan.

Terakhir, kewenangan KY sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman harus diperkuat.

"Berkaca pada pedoman perilaku hakim, kewenangan Komisi Yudisial masih terbatas pada pemberian rekomendasi sanksi kepada Mahkamah Agung. Tentu kondisi tersebut membuka potensi terjadinya konflik kepentingan," ucap Kurnia.

KEYWORD :

Kejaksaan Agung Kejagung Zarof Ricar ICW Mafia Peradilan Mahkamah Agung




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :