Jum'at, 15/11/2024 12:26 WIB

Skandal Indikator Politik: Manipulasi Data dan Munculkan Etnis Fiktif

Direktur Indonesia Anti Corruption Network (IACN) Igriza Majid meragukan validitas hasil survei Indikator Politik Indonesia pimpinan Burhanuddin Muhtadi, dalam Pemilihan Gubernur Maluku Utara (Malut).

Logo survei Indikator Indonesia (Foto: Dok. Indikator)

Jakarta, Jurnas.com - Direktur Indonesia Anti Corruption Network (IACN) Igriza Majid meragukan validitas hasil survei Indikator Politik Indonesia pimpinan Burhanuddin Muhtadi, dalam Pemilihan Gubernur Maluku Utara (Malut). Dalam survei itu, pasangan calon (paslon) Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe mengungguli tiga paslon lainnya.

Menurut aktivis anti korupsi asal Malut itu, keraguan terhadap hasil survei Indikator Politik Indonesia muncul disebabkan terdapat ketidaksesuaian antara angka elektabilitas paslon dengan jumlah responden.

"Dalam hasil survey itu, paslon nomor urut 4 Sherly-Sarbin lebih unggul dengan persentase 40,7 persen, disusul paslon nomor urut 1 Husain Alting Sjah-Asrul Rasyid Ichsan 20,7 persen," kata Igriza dalam keterangannya pada Kamis (13/11).

"Kemudian Muhammad Kasuba-Basri Salama 15,5 persen, dan Aliong Mus-Sahril Thahir 10,4 persen. Sedangkan responden yang mengaku tidak tahu/rahasia sebesar 12,8 persen. Jumlah ini jika diakumulasikan maka persentase responden melebihi 100 persen yakni 100,1 persen," dia menambahkan.

Selain itu kata Igriza, ada juga ditemukan ketidaksesuaian jumlah akumulasi responden berdasarkan demografi etnis. Ada kurang lebih dari tiga etnis yang akumulasi responden hanya 99,9 persen dan ada juga akumulasi etnis yang melebihi 100,1 persen.

"Misalnya akumulasi yang terdapat pada etnis Galela, untuk Husain-Asrul 14,2 persen lalu Aliong-Syahril 10,1 persen, Kemudian MK-BISA 28,0 persen dan Sherly-Sarbin 37,9 persen sedangkan responden yang tidak tahu atau yang belum menentukan pilihan sebanyak 9,7 persen. Jumlah ini jika diakumulasikan maka total responden kurang dari 100 persen yakni hanya 99,9 perse," ujar dia.

"Persentase yang sama juga terjadi pada etnis Sula, Ternate dan etnis lainnya yaitu hanya 99,9 persen akumulasi respondennya. Sementara pada etnis Buton, Butung dan Butong akumulasinya melebihi yakni 100,1 persen," dia menambahkan.

Aktivis muda asal Tahane ini memaparkan, dari sisi sosio demografi Indikator Indonesia kelihatan berbohong. Dia menduga basis etnis Makeang, etnis Tidore, dan Sula sengaja diperkecil.

Tak hanya itu, menurut Igriza, Indikator Indonesia membuat kelompok etnis baru yaitu etnis Halmahera, Butung dan Butong.

"Ini etnis dari mana ke mana? Nama etnis ini belum pernah kami dengar di Maluku Utara sini. Kalaupun maksudnya adalah etnis Bitung masih bisa dimaklumi mungkin salah ketik tapi etnis Halmahera dan Butong ini etnis yang mana?" kata dia.

Keanehan lainnya ialah persentase etnis Togale Sherly yang disebut lebih unggul dari Muhammad Kasuba yakni di Galela 37 persen dan di Tobelo 74 persen. Padahal secara representatif MK lebih dikenal oleh suku Togale karena MK adalah satu-satunya putra asli Togale yang mengikuti kontestasi Pilgub.

"Sementara Sherly secara etnis tidak memiliki hubungan apapun dengan etnis Togale. Ini kan aneh," Igriza menambahkan.

Igriza juga menyoal tentang citra personal yang dibuat bukan Sherly Tjoanda tapi Sherly Laos. Alumnus sekolah anti korupsi KPK ini mempertanyakan keabsahan perubahan nama belakang Sherly.

"Secara administratif ini bisa dilihat dari seluruh berkasnya yg masuk di KPU, apakah officially sudah ada perubahan nama? Kalau belum, maka kuasa hukum paslon lain bisa mempersoalkan ini dari sisi hukum," ujar dia.

KEYWORD :

IACN Pilgub Malut Survei Indikator




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :