Ilustrasi carok Sampang Madura (Foto: Pngtree/Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Carok adalah sebuah istilah yang sudah melekat dengan budaya masyarakat Madura, Jawa Timur. Tradisi ini mengacu pada sebuah bentuk pertarungan sengit yang melibatkan kekerasan fisik, bahkan sering kali berujung pada kematian. Carok dilakukan sebagai bentuk penyelesaian konflik yang tidak bisa diselesaikan dengan cara damai.
Baru-baru ini publik kembali dihebohkan dengan istilah carok setelah insiden tragis yang terjadi di Desa Ketapang Laok, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Madura pada Minggu, 17 November 2024. Kasus pembacokan yang berujung pada tewasnya Jimmy Sugito Putra ini, diduga kuat terkait dengan ketegangan yang muncul menjelang Pilkada 2024.
Asal Usul dan Makna Carok
Kata carok berasal dari bahasa Kawi Kuno, dengan istilah ecacca erok-orok yang berarti "dibantai" atau "dimutilasi". Istilah ini menggambarkan betapa brutalnya pertarungan yang terjadi dalam tradisi ini. Carok bukan hanya sekedar pertarungan fisik, tetapi juga sering kali dipicu oleh perselisihan terkait harga diri, keluarga, atau masalah pribadi. Dalam masyarakat Madura, harga diri (martabat) sangat dijunjung tinggi, dan dalam beberapa kasus, carok menjadi cara untuk "memulihkan" martabat yang tercemar.
Masyarakat Madura memegang teguh peribahasa "katembheng pote mata ango`a poteya tolang" yang artinya "daripada menanggung malu, lebih baik berkalang di tanah". Peribahasa ini mencerminkan betapa dalamnya penghargaan terhadap harga diri di masyarakat Madura. Dalam pandangan mereka, lebih baik mati daripada hidup dengan rasa malu yang tak tertahankan. Prinsip ini menjadi salah satu alasan utama mengapa carok tetap ada dan sering kali dilihat sebagai cara terakhir untuk menyelesaikan konflik.
Carok dalam Sejarah dan Budaya Madura
Carok bukanlah praktik yang selalu ada sejak zaman kerajaan Madura. Menurut studi yang dilakukan oleh Syamsul Arifin dalam Studi Budaya Carok Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat (2017), meskipun tradisi kekerasan ini telah dilakukan secara turun temurun, istilah "carok" sendiri baru muncul pada abad ke-17 Masehi, pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, bukan pada abad ke-12 Masehi, masa pemerintahan Prabu Cakraningrat. Dengan kata lain, meskipun tradisi penyelesaian konflik dengan kekerasan sudah ada sejak lama, istilah "carok" baru digunakan belakangan.
Sebagai bagian dari tradisi lisan, carok terus berkembang, terutama sebagai simbol keberanian dan pembelaan terhadap harga diri. Namun, kini banyak pihak yang mulai menyuarakan agar carok tidak lagi dipraktikkan, karena dampaknya yang merusak baik bagi pelaku maupun masyarakat sekitar.
Dalam banyak kasus, carok terjadi sebagai akibat dari perselisihan keluarga, harta warisan, atau harga diri yang direndahkan. Namun, tradisi yang mulanya hanya dipicu oleh konflik personal kini telah terbawa oleh persoalan politik, seperti yang terlihat dalam insiden terbaru di Sampang.
Insiden Berdarah di Sampang Madura: Carok dalam Konteks Pilkada 2024
Pada 17 November 2024, sebuah insiden tragis terjadi di Desa Ketapang Laok, Sampang, yang menewaskan Jimmy Sugito Putra. Kasus pembacokan ini tidak hanya mengundang perhatian publik karena kekejamannya, tetapi juga karena dugaan keterkaitannya dengan ajang Pilkada 2024. Menurut informasi yang beredar, insiden ini berakar pada ketegangan yang timbul antara dua pihak yang terlibat dalam persaingan politik jelang pemilihan kepala daerah.
Carok dan Ancaman Bagi Keharmonisan Sosial
Insiden di Sampang ini menambah panjang daftar tragis terkait carok dalam beberapa tahun terakhir. Seiring dengan perkembangan zaman, meskipun ada upaya untuk mengurangi praktik kekerasan ini melalui pendidikan dan penyuluhan, budaya carok tampaknya masih kuat dalam sebagian lapisan masyarakat Madura.
Banyak pihak beranggapan bahwa carok mewakili sebuah bentuk pertahanan harga diri yang mendalam, namun di sisi lain, ada kesadaran yang berkembang bahwa kekerasan semacam ini merusak tatanan sosial dan menciptakan ketegangan yang tidak perlu.
Kritik terhadap Praktik Carok dalam Perspektif Politik
Tragedi di Sampang juga menggugah pertanyaan besar tentang peran politik dalam memperburuk kekerasan yang terjadi dalam masyarakat. Pilkada, yang semestinya menjadi sarana untuk memilih pemimpin secara damai dan demokratis, kadang justru menjadi pemicu ketegangan yang berujung pada kekerasan. Dalam konteks ini, carok menjadi fenomena sosial yang tidak hanya menyelesaikan konflik personal tetapi juga melibatkan rivalitas politik yang bisa mengancam stabilitas sosial.
Upaya Mengurangi Praktik Carok di Madura
Pemerintah, aparat penegak hukum, serta tokoh agama dan masyarakat di Madura disebut telah berusaha keras untuk mengurangi praktik carok. Salah satu upaya utama adalah dengan meningkatkan pemahaman akan pentingnya menyelesaikan konflik secara damai melalui dialog atau jalur hukum. Dengan melakukan pendekatan preventif melalui pendidikan dan pembinaan moral, diharapkan masyarakat Madura dapat berpindah dari cara-cara kekerasan menuju cara-cara yang lebih konstruktif dalam menyelesaikan masalah.
Selain itu, untuk mengatasi konflik yang melibatkan isu politik, penting bagi para calon pemimpin daerah untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian, persatuan, dan kesetaraan di tengah masyarakat. Pendidikan politik yang sehat, yang mengedepankan dialog dan penghargaan terhadap perbedaan, menjadi sangat penting untuk mencegah ketegangan yang bisa berujung pada kekerasan.
KEYWORD :Carok Sampang Madura carok Sampang Tradisi Madura Pilkada 2024