Selasa, 19/11/2024 14:35 WIB

Janji Prabowo Hapus Kemiskinan Perlu Keberanian, Kenaikan PPN 12 Persen Jadi Ujian

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen menjadi ujian pertama bagi pemerintahan Prabowo dalam merealisasikan janjinya tersebut.

Presiden Prabowo Subianto saat berpidato kenegaraan pertamanya.

Jakarta, Jurnas.com - Presiden Prabowo Subianto disebut harus mempunyai keberanian yang besar dalam menghapus kemiskinan di Indonesia. Bahkan, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen menjadi ujian pertama bagi pemerintahan Prabowo dalam merealisasikan janjinya tersebut.

Dalam analisis politiknya, pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH, MH, menyebut tidak sedikit pihak mempertanyakan apakah kenaikan itu sebagai langkah awal menuju transformasi ekonomi atau sekadar langkah pragmatis yang mengorbankan rakyat demi angka-angka di laporan keuangan negara.

Pieter Zulkifli menekankan jika Presiden Prabowo memulai masa pemerintahannya dengan visi besar. Di antaranya, menghapus kemiskinan, meningkatkan taraf hidup rakyat, menyediakan makan siang gratis, membangun tiga juta rumah, hingga menciptakan jutaan lapangan kerja.

"Prabowo Subianto memulai pemerintahannya dengan visi yang ambisius. Namun, janji besar seperti menghapus kemiskinan memerlukan keberanian, inovasi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kenaikan PPN menjadi ujian pertama: apakah ini langkah awal menuju transformasi ekonomi atau sekadar langkah pragmatis yang mengorbankan rakyat demi angka-angka di laporan keuangan negara?," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Selasa (18/11).

Di satu sisi, kata dia, kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung target ambisius Prabowo. Termasuk, pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun.

"Di sisi lain, langkah ini dinilai bertentangan dengan janji peningkatan taraf hidup masyarakat. Kenaikan PPN berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa di pasar, yang otomatis melemahkan daya beli rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah," katanya.

Pieter Zulkifli memgatakan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, pemerintah diperkirakan memerlukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sekitar Rp8.000 triliun per tahun, dua kali lipat dari anggaran saat ini.

Namun, proyeksi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk APBN 2025 hanya mencapai Rp3.600 triliun. Bahkan, jumlah ini pun belum sepenuhnya tersedia dalam bentuk uang nyata. Artinya, rencana ini lebih bersifat prediktif ketimbang realistis.

Tak hanya itu, dia mengungkapkan bahwa laporan dari IMF menunjukkan skeptisisme terhadap target ini, mengingat Indonesia masih menghadapi masalah struktural di sektor keuangan. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan uang kartal yang dimiliki negara.

"Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa uang kartal yang beredar hanya sekitar Rp954,5 triliun. Angka ini jauh dari cukup untuk menggerakkan ekonomi sebesar Indonesia, alih-alih mendukung target pertumbuhan 8 persen," katanya.

Belajar dari Amerika, Pieter Zulkifli bilang negara adidaya ini pernah menghadapi krisis keuangan besar pada 2008-2009. Untuk mengatasi masalah tersebut, mereka mencetak uang dalam jumlah besar, mencapai USD2000 miliar atau sekitar 30.000 triliun rupiah. Namun, langkah ini didukung oleh faktor produktif dan proyek-proyek besar di bawah pengaruh kekuatan ekonominya.

"Sayangnya, Indonesia tidak memiliki posisi serupa. Ketergantungan pada mata uang asing seperti dolar AS dan euro membuat rupiah terjepit. Sebagian besar transaksi ekspor-impor menggunakan mata uang asing, yang secara langsung mengurangi sirkulasi rupiah di pasar domestik. Hal ini juga berdampak pada kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri," katanya.

Mantan Ketua Komisi III DPR itu menyatakan PPN 12 persen beban berat bagi rakyat. Bahkan, kenaikan PPN akan menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN, sejajar dengan Filipina.

Dia mengamini bila kebijakan ini memang bertujuan meningkatkan pendapatan negara, akan tetapi efek sampingnya langsung dirasakan rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah. Harga barang dan jasa diperkirakan melonjak, sementara daya beli masyarakat semakin menurun.

"Saat daya beli melemah, sulit membayangkan target penghapusan kemiskinan dapat tercapai. Dalam situasi seperti ini, kebijakan fiskal yang tidak pro-rakyat justru memperburuk ketimpangan ekonomi. Dengan konsumsi domestik sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi, peningkatan beban pajak berisiko meruntuhkan fondasi tersebut," katanya.

Di sisi lain, Pieter Zulkifli mengingatkan Presiden Prabowo agar memiliki keberanian, inovasi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat untuk merealisasikan janjinya terkait penegakan hukum dan peningkatan kualitas SDM. Pemerintah perlu fokus pada upaya peningkatan produktivitas domestik, pengurangan ketergantungan pada mata uang asing, dan pengelolaan ekspor-impor yang lebih baik.

"Transparansi dalam pengelolaan APBN juga harus menjadi prioritas. Anggaran sebesar Rp3.600 triliun untuk tahun 2025 harus benar-benar terealisasi, bukan sekadar angka di atas kertas. Kebijakan perpajakan yang adil dan pro-rakyat menjadi langkah penting berikutnya," katanya.

Selain itu, Pieter Zulkifli menegaskan bila penegakan hukum harus ditegakkan secara konsisten. Pelanggaran seperti pungli dan pemerasan oleh oknum penegak hukum harus diberantas.

Untuk itu, dia mendorong agar RUU Perampasan Aset segera disahkan. Apalagi, brdasarkan data ICW, kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp279,2 triliun dalam delapan tahun terakhir, tetapi pemulihan hanya Rp37,2 triliun.

Terakhir, Pieter Zulkifli ingin pemerintahan Prabowo mengedepankan peningkatan kualitas SDM . Tanpa pembenahan sistem pendidikan dan kesehatan nasional, Indonesia akan sulit bersaing di tingkat ASEAN, apalagi global. Bahkan untuk program makan siang gratis bergizi bagi anak sekolah, pemerintah masih membutuhkan bantuan dari luar negeri.

"Rakyat kini menunggu bukti nyata dari janji besar Prabowo. Apakah pemerintah dapat menjawab tantangan ini ataukah visi besar ini hanya akan menjadi angan di tengah realitas ekonomi global yang semakin kompleks? Waktu akan menjadi saksi, apakah janji ini mampu diwujudkan atau berakhir sebagai kontradiksi," katanya.

KEYWORD :

Presiden Prabowo Subianto Prabowo Janji Hapus Kemiskinan Prabowo Perlu Keberanian Kenaikan PPN 12




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :