Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah. (Foto: Dok. Parlementaria)
Jakarta, Jurnas.com - Pendidikan merupakan fondasi penting bagi kemajuan suatu bangsa. Di Indonesia, tantangan dalam sektor pendidikan semakin kompleks. Perlu perhatian serta tindakan yang serius dari semua pihak.
Hal ini mengemuka dalam webinar bertajuk “Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional di Indonesia dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (BK DPRRI) di Jakarta, kemarin.
“Secara garis besar ada beberapa tantangan pendidikan yang harus kita selesaikan bersama, seperti persoalan kualitas dan pemerataan pendidikan; sarana prasarana, kualitas & kesejahteraan guru, akses & partisipasi pendidikan, serta manajemen dan tata kelola pendidikan,” jelas Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah, yang menjadi salah satu narasumber webinar tersebut.
Menurut dia, standar kurikulum yang belum merata di semua daerah, sebaran guru yang masih senjang utamanya di daerah terpencil, serta kurangnya kreasi dan inovasi metode pembelajaran menjadi faktor yang harus diperhatikan dan diatasi.
“Kita berharap janganlah setiap ganti menteri ganti kurikulum. Ada perubahan metode atau pendekatan tentu wajar tapi semestinya tetap dalam satu landasan yang sama. Dan kurikulum ini meski bersifat nasional tetap perlu penyesuaian dengan kondisi lokal atau kebutuhan siswa di daerah,” terang Ledia.
Anggota DPR dapil Kota Bandung dan Cimahi ini menjelaskan, tantangan sarana prasarana sekolah saat ini adalah kondisi bangunan sekolah, akses dan keterbatasan fasilitas sekolah serta ketimpangan distribusi sarana belajar seperti laboratorium, perpustakaan dan alat teknologi pendidikan.
“Jumlah ruang kelas rusak di seluruh pelosok negeri sangat banyak. Data BPS menunjukkan ada lebih dari 50 persen kelas rusak untuk tingkat SD dan hampir 50 persen untuk tingkat SMP. Sementara level SMA dan SMK lebih dari 30 persennya. Ini tentu peer besar bagi pemerintah. Bagaimana menuntaskan hal ini meski bertahap namun segera,” terangnya.
“Karena terkait dengan keselamatan dan kenyamanan belajar siswa dan guru. Kami sendiri di Komisi X berharap agar tanggungjawab anggaran perbaikan ruang kelas sekolah yang saat ini berada di pihak PUPR dikembalikan ke kementerian pendidikan,” imbuhnya.
Sementara untuk persoalan kesejahteraan guru, dijelaskan Ledia, meliputi banyaknya guru yang belum sejahtera karena masih terdapat sistem penggajian dan tunjangan yang rendah, utamanya pada mereka yang berstatus guru honorer atau guru di sekolah swasta yang memiliki pemasukan terbatas.
“Kebutuhan guru di seluruh sekolah di negeri ini sangat banyak, baik di sekolah negeri maupun swasta. Karena itu kehadiran guru honorer menjadi sangat dibutuhkan. Sayangnya guru honorer sering menerima upah jauh di bawah standar hidup layak dan tidak memperoleh tunjangan atau jaminan sosial memadai,” kata dia.
Selain itu, ditambahkan Ledia, banyak guru, terutama honorer yang juga tidak mendapat akses pelatihan atau pendidikan yang memadai untuk peningkatan kompetensi, sehingga makin sulit bagi mereka untuk mendapat peningkatan kesejahteraan.
“Karenanya diperlukan rencana segera dan berkelanjutan dari Pemerintah untuk bisa mengeluarkan program terkait peningkatan kesejahteraan guru,” terangnya.
Mengurai tantangan akses dan partisipasi pendidikan, Ledia yang juga anggota Badan Legislasi ini menyebut faktor ekonomi seringkali menjadi hambatan siswa melanjutkan sekolah.
Kalau mengacu data tingkat SD angka partisipasi murninya memang tergolong tinggi, yaitu 97 persen anak Indonesia bersekolah. Namun ternyata semakin tinggi jenjang pendidikan angkanya semakin mengecil. Misal untuk level SMP hanya sekitar 81 persen dan setingkat SMA hanya sekitar 62 persen.
“Ini tantangan lain lagi, sebab banyak orangtua tidak mampu secara ekonomi untuk menyekolahkan anak ke jenjang lanjutan. Misalnya dari SD ke SMP atau SMP ke SMA. Mungkin karena lanjut sekolah artinya biaya lebih besar, atau karena anak selepas SD diharapkan membantu ekonomi orangtua,” kata Ledia.
Oleh karena itu, menurut Ledia, selain perlu menambah bantuan pendidikan seperti PIP, pemerintah juga perlu membuka sekolah dengan layanan khusus, seperti sekolah terbuka atau sekolah dengan jam khusus.
Sementara ketika memaparkan tantangan terkait manajemen dan tata kelola pendidikan, Sekretaris Fraksi PKS ini mengingatkan bahwa transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran pendidikan di Indonesia masih kurang, sementara sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan pendidikan juga lemah.
Dari laporan hasil pemeriksaan BPK 2022 saja, lanjut Ledia, diketahui ada masalah dalam perencanaan dan penggunaan anggaran pendidikan terutama dari laporan penggunaan dana BOS.
Pemanfaat dana BOS memang cukup rumit. Di satu sisi lewat laporan Kemendikbudristek periode lalu kepada Komisi X disebutkan bahwa biaya operasional untuk anak SD dalam satu tahun itu sekitar 3 juta rupiah. Sementara dana BOS yang bisa dikeluarkan per tahun itu baru 900 ribu rupiah.
Dengan kondisi yang kurang itupun penggunaannya juga terbatas hingga seringkali berujung pada temuan-temuan BPK.
“Di lapangan ada banyak hal yang tidak mudah untuk disiasati dari penggunaan dana BOS ini. Karenanya perlu ada pemadanan regulasi dengan kondisi lapangan, juga diskusi dengan komite sekolah agar sekolah tidak lagi menjadi area yang disebut ICW sebagai lingkungan rawan korupsi, padahal ternyata karena adanya keterbatasan penggunaan anggaran yang belum berkesesuaian dengan kondisi lapangan,” katanya.
Terakhir, Ledia mengingatkan pula bagaimana sinergi pemerintah pusat dan daerah yang sampai saat ini masih lemah harus dikuatkan.
“Misalnya, sampai saat ini masih banyak daerah yang belum bisa memenuhi alokasi anggaran pendidikan sekurangnya 20 persen dari APBD sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 4. Seringnya, setiap ada transfer dana pendidikan dari pusat ke daerah, dana tersebut ditunggu lalu setelah datang transferan ke daerah itu baru dimasukkan sebagai bagian dari dari APBD dan kemudian sisanya dipenuhi oleh pemerintah daerah sehingga jadi 20 persen. Padahal bukan itu maksudnya. Mustinya 20% itu harus disediakan oleh oleh pemerintah daerah baru ditambahkan dari pusat.”
Begitu pula, papar Ledia lebih lanjut, persoalan pemanfaatan dana alokasi khusus pendidikan yang kadang muncul tidak berkesesuaian.
“Misalnya ada kejadian, saat ada transfer ke daerah dengan judul Dana Alokasi Khusus pendidikan, tetapi yang dibuat adalah pagar sekolah atau jembatan ke menuju sekolah. Itu kan tidak tepat karena itu sesungguhnya adalah tanggung jawab pemerintah daerah dalam bidang infrastruktur. Jadi seharusnya tidak boleh mengambil dari situ. Salah,” tegas Ledia menjelaskan.
Karena itu Ledia mengingatkan penguatan komunikasi, koordinasi dan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus dilakukan secara berkesinambungan, termasuk soal bagaimana menata pemadanan regulasi dengan praktek di lapangan.
“Hal itu agar tidak lagi timbul permasalahan-permasalah teknis birokrasi dan hukum yang berdampak pada terhambatnya pemajuan pendidikan Indonesia di kemudian hari,” tandasnya.
KEYWORD :
Warta DPR Komisi X Ledia Hanifa Amaliah pendidikan tantangan kurikulum