Kamis, 28/11/2024 19:39 WIB

Praktisi Hukum Nilai Hak Konstitusional Firli Bahuri Harus Dihormati

Sejak Firli ditetapkan sebagai tersangka pada 23 November 2023, kasus ini hingga kini belum menemui kejelasan hukum.

Firli Bahuri di Kantor Dewas KPK.

Jakarta, Jurnas.com - Praktisi hukum dari Universitas Mataram, Sirra Prayuna merespons soal kasus dugaan pemerasan oleh eks Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya pada 23 November 2023, kasus ini hingga kini belum menemui kejelasan hukum.

“Jika melihat dari kacamata hukum pidana, kasus ini tergolong sederhana. Pembuktian dalam perkara pidana cukup dilakukan dengan memenuhi dua alat bukti yang sah,” ujar Sirra Prayuna kepada media, Kamis 28 November 2024.

Menurutnya, anatomi perkara seperti yang dituduhkan Polda Metro Jaya terhadap Firli Bahuri sudah seharusnya mengedepankan prinsip pembuktian yang jelas.

“Dalam konteks pembuktian, jika ada yang memeras tentu ada yang diperas. Lalu, harus diketahui kapan peristiwa itu terjadi, di mana tempatnya, bagaimana caranya, serta siapa saja saksi yang melihat dan mendengar langsung. Itu semua adalah elemen penting yang bisa dibuktikan secara hukum,” tambahnya.

Informasi yang dihimpun hingga kini sudah 123 saksi dan 11 ahli diperiksa terkait kasus ini. Namun, berkas perkara yang bolak-balik antara penyidik dan kejaksaan membuat publik bingung dan bertanya-tanya mengenai kekuatan alat bukti yang dimiliki penyidik.

“Jika hingga saat ini belum ada bukti yang cukup maka demi keadilan, penyidik perlu mempertimbangkan penghentian penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP,” jelas Sirra.

Firli Bahuri kembali dipanggil sebagai tersangka hari ini terkait dugaan pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo. Pemanggilan ini semakin menambah kerancuan dalam perkara tersebut, terutama dengan petunjuk jaksa bahwa berkas perkara tidak memenuhi syarat materil.

Sirra Prayuna juga menyoroti pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum. Menurutnya, hak Firli sebagai subjek hukum harus dihormati sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi.

“Dalam Piagam Hak Asasi Manusia dan UUD 1945, setiap orang dijamin untuk mendapat perlakuan hukum yang adil dan proporsional. Hak konstitusional Firli Bahuri sebagai warga negara harus dihormati, termasuk hak untuk mendapatkan kejelasan hukum,” tegasnya.

"Harus murni soal hukum, bukan soal lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Tidak bisa seseorang disandra statusnya oleh sebab kekuarangan alat bukti," pungkasnya

Senada dengan Sirrra, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof Romli Atmasasmita mengatakan, untuk menetapkan tersangka harus ada minimal 2 alat bukti permulaan yang cukup. Alat bukti permulaan yang cukup artinya harus sesuai dengan standar-standar operasional hukum acara.

"Jadi bukti yang dikumpulkan Polda itu selama ini tidak memenuhi syarat-syarat yang diatur Hukum acara bukti permulaan cukup, jadi berarti belum cukup. Saksi ada tapi dia tidak melihat, tidak mendengar, tidak mengalami. Saksi-saksinya hanya katanya, `saya dengar dari si Anu, saya dengar dari si Anu`, katanya lah-katanya lah. Ini namanya testimonium de auditu saksi yang hanya katanya-katanya, ini nggak boleh," tambah Prof Romli

KEYWORD :

KPK Firli Bahuri Polda Metro Jaya Kasus Pemerasan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :