
Tas yang terbuat dari sampah plastik di Desa Kalosi Alau (Foto: Muti/Jurnas.com)
Makassar, Jurnas.com - Sebutan sampah kerap kali berkonotasi negatif bagi sebagian besar orang. Namun, tidak halnya dengan Kepala Desa Kalosi Alau, Andi Apris, yang sama sekali tidak keberatan bila desanya dijuluki sebagai `Desa Sampah`.
Keunikan desa ini sudah terlihat dengan kehadiran pelang ecobrick terpampang di sisi Jalan Poros Palopo-Makassar, yang menandai pintu masuknya desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Wajo tersebut.
Alih-alih menggunakan gapura permanen serba mewah, perpaduan sampah plastik bertuliskan Desa Kalosi Alau menimbulkan kesan unik. Menurut Andi Apris, ecobrick ini menjadi identitas desanya yang berkomitmen dalam pemanfaatan sampah plastik.
Tak seperti di desa-desa lainnya, di Desa Kalosi Alau sampah plastik dipandang berharga. Sampah-sampah plastik tersebut menjadi syarat wajib bagi masyarakat yang ingin mengurus berbagai keperluan administrasi di kantor desa.
"Ketika warga melihat sampah plastik, mereka melihat ini bisa jadi uang. Karena sampah plastik bisa untuk mengurus surat keterangan. Coba cek di desa-desa lain, untuk surat kan ada administrasinya minimal Rp20-30 ribu," kata Andi Apris saat ditemui di Kantor Desa Kalosi Alau, Sidrap, Sulawesi Selatan baru-baru ini.
Pelayanan publik berbasis sampah ini sudah diterapkan sejak 2017 silam. Kata Andi Apris, kala itu desanya kerap dilanda banjir akibat sampah plastik. Karena itu, dia bermusyawarah dengan masyarakat untuk menerapkan peraturan menukar sampah plastik dengan pelayanan administratif.
Peraturan ini disambut positif dan terbukti efektif. Selain mampu mengatasi masalah banjir, kini Desa Kalosi Alau terbebas dari sampah plastik, karena masyarakat mulai rutin menyimpan dan mengumpulkan sampah plastik di rumah guna mengurus keperluan administratif di kantor desa.
"Enggak cuma untuk warga yang ingin mengurus surat menyurat, begitu juga untuk penerima bansos. Ketika mereka datang ke kantor desa untuk mengambil bansosnya, mereka juga harus bawa sampah plastik," ujar Andi Apris.
Sampah plastik yang terkumpul, lanjut Andi Apris, sebagian diolah kembali oleh warga desa untuk disulap menjadi beraneka ragam kerajinan tangan bernilai ekonomis, mulai dari tas, topi, tempat tisu, hingga pot bunga. Adapun sebagian lainnya dijual ke pengepul untuk didaur ulang.
Andi Apris mengatakan, dari sampah plastik yang didaur ulang ke pengepul ini, Desa Kalosi Alau rutin mencatatkan Pemasukan Asli Desa (PAD) sebesar Rp4 jutaan per bulan.
"Meski secara nominal tidak besar, tapi dengan adanya program sampah plastik ini kami sering mendapatkan penghargaan sebagai desa berkomitmen dengan sanitasi," dia menambahkan.
Kesuksesan pelayanan berbasis sampah tak lepas dari kerja sama Desa Kalosi Alau dengan Universitas Muhammadiyah Sidenreng (UMS) Rappang. Kehadiran mahasiswa UMS melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) KKN Tematik, membantu desa mengawinkan pelayanan berbasis sampah dengan digitalisasi.
Saat ini, warga yang ingin mengurus surat keterangan maupun pelayanan administratif lainnya, dapat mengakses platform UMS `Siberas` yang telah diadopsi oleh Desa Kalosi Alau. Hanya dalam hitungan menit setelah pengajuan, surat keterangan dapat dijemput ke kantor desa.
"Tidak perlu lagi berhari-hari untuk mengurus surat. Mungkin prosesnya hanya memakan 5-7 menit sudah jadi. Tapi tetap, mereka yang mau ambil suratnya harus bawa sampah plastik," kata Andi Apris.
Mahasiswa juga terlibat aktif dalam memperbarui data warga dan penggunaan anggaran desa di platform `Siberas` sebagai wujud transparansi. Hal ini membuat pemerintah desa merasa cukup terbantu. Karenanya tak heran, Andi Apris selalu meminta UMS untuk rutin mengirimkan mahasiswa ke Desa Kalosi Alau.
"Dengan adanya mahasiswi, kita masukkan semua data kartu keluarga di aplikasi. Awal pendataan juga kita datangi door-to-door," ujar dia.
Mahasiswi Prodi Administrasi Kesehatan UMS, Rasdianti, mengatakan selama dua menjalankan KKN Tematik di Desa Kalosi Alau, dirinya tak hanya membantu terkait administrasi desa, namun juga terlibat dalam penguatan ecopreneurship berbasis ramah lingkungan.
Salah satu produk yang dihasilkan yakni pembuatan ecobrick atau tugu selamat datang di perbatasan Desa Kalosi Alau. Rasdianti menyebut pembuatan ecobrick ini memakan waktu lama karena harus mengumpulkan sampah plastik beraneka ragam ukuran.
"Kami juga ikut di bank sampah. Karena warga yang datang ada yang membawa sampah besar dan kecil, itu harus kami sortir lagi," kata Rasdianti.
KEYWORD :Kalosi Alau Kampus Merdeka Desa Sampah