Soekarno: Keputusan Awal untuk Rekonsiliasi
Pemberian amnesti pertama kali tercatat dalam sejarah Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Soekarno. Pada tahun 1959, Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 303, yang memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Langkah ini merupakan upaya untuk meredakan ketegangan yang terjadi di daerah-daerah yang terlibat dalam pemberontakan tersebut.
Pada tahun 1961, Soekarno kembali menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 449 yang memperluas pemberian amnesti dan abolisi kepada pemberontakan yang lebih luas, mencakup daerah-daerah seperti Aceh (Daud Bereueh), Sumatera Utara, dan beberapa wilayah lainnya. Bahkan pemberontakan yang dipimpin oleh Kartosuwirjo di Jawa Barat, yang dikenal dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII), turut mendapat amnesti.
Soeharto: Amnesti untuk Kepentingan Negara
Di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, amnesti juga digunakan sebagai alat untuk menciptakan stabilitas politik. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 1977, yang memberikan amnesti dan abolisi kepada pengikut gerakan FRETELIN di Timor Timur. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mendukung kepentingan negara dan memperkuat kesatuan bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan politik di wilayah tersebut.
Amnesti juga diberikan oleh Soeharto untuk meredakan ketegangan di daerah-daerah yang terlibat dalam gerakan separatis dan pemberontakan, meskipun kebijakan tersebut sering kali dipandang kontroversial.
Habibie: Amnesti dalam Semangat Reformasi
Setelah jatuhnya Orde Baru, Presiden BJ Habibie mengeluarkan kebijakan amnesti sebagai bagian dari transisi menuju demokrasi. Pada Keppres No. 80/1998, Habibie memberikan amnesti kepada dua tokoh oposisi politik, Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan, yang saat itu dijerat dengan tuduhan subversi. Selain itu, melalui Keppres No. 123/1998, Habibie memberikan amnesti kepada tokoh-tokoh Papua seperti Hendrikus Kowip dan Benediktus Kuawamba. Keputusan ini menjadi bagian dari upaya Habibie untuk membuka ruang bagi reformasi politik dan mengatasi ketegangan di Papua.
Abdurrahman Wahid: Amnesti untuk Tahanan Politik
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melanjutkan tradisi pemberian amnesti, terutama untuk para tahanan politik dan aktivis pro-demokrasi. Salah satu keputusan penting adalah melalui Keppres Nomor 159 Tahun 1999, yang memberikan amnesti kepada sejumlah tahanan politik, termasuk Budiman Sudjatmiko, mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pemberian amnesti di era Gus Dur mencerminkan semangat reformasi dan demokratisasi yang tengah berlangsung di Indonesia.
Susilo Bambang Yudhoyono: Amnesti dalam Proses Perdamaian
Pemberian amnesti yang sangat signifikan terjadi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun 2005, Yudhoyono menandatangani dekrit yang memberikan amnesti kepada sekitar 1.500 pemberontak Aceh yang terlibat dalam konflik dengan pemerintah Indonesia, terutama anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pemberian amnesti ini merupakan bagian dari kesepakatan damai yang tercapai melalui Perjanjian Helsinki, yang berusaha mengakhiri konflik yang berlangsung lama di Aceh. Namun, amnesti ini hanya mencakup mereka yang terlibat dalam pemberontakan politik dan tidak berlaku bagi mereka yang terlibat dalam tindak pidana biasa.
Joko Widodo: Amnesti di Era Modern
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, amnesti diberikan khususnya terkait dengan kebebasan sipil dan perlindungan terhadap individu yang terjerat dengan undang-undang kontroversial. Di antaranya pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi, seorang dosen Universitas Syiah Kuala yang dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait dengan pencemaran nama baik. Saiful Mahdi merupakan salah satu korban dari penerapan UU ITE yang sering dikritik karena dianggap memberangus kebebasan berpendapat.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun pada tahun 2019. Baiq Nuril dijerat dengan UU ITE setelah merekam percakapan asusila antara dirinya dan mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, Muslim, yang kerap meneleponnya. Nuril hanya bertujuan melindungi dirinya, namun justru dituduh dan dihukum karena tindakannya.
Kesimpulan
Sejarah pemberian amnesti di Indonesia menunjukkan bagaimana kebijakan ini digunakan oleh berbagai presiden untuk mencapai tujuan tertentu, mulai dari rekonsiliasi politik hingga perlindungan hak-hak sipil. Pemberian amnesti tidak hanya menjadi alat untuk meredakan ketegangan politik, tetapi juga bagian dari proses penyembuhan sosial setelah periode konflik yang panjang. Meskipun penerapannya sering kali kontroversial, amnesti tetap menjadi simbol dari upaya negara untuk membangun hubungan yang lebih baik antara pemerintah dan rakyat, serta untuk memperkuat demokrasi di Indonesia.