Awal Mula Keterlibatan Belanda: Perahu Sri Komala
Berdasarkan catatan sejarah dari Pemerintah Kabupaten Badung, penyebab utama dari peristiwa Puputan Badung berawal pada 27 Mei 1904, ketika sebuah perahu dagang bernama Sri Komala terdampar di pantai timur Kerajaan Badung. Perahu berbendera Belanda ini berlayar dari Banjarmasin dan membawa barang dagangan milik pedagang Cina, Kwee Tek Tjiang.
Setelah perahu kandas, barang-barang yang dapat diselamatkan dipindahkan ke pantai dan dijaga oleh warga setempat atas permintaan Kwee Tek Tjiang. Namun, beberapa hari kemudian, Kwee Tek Tjiang melaporkan bahwa barang-barangnya telah dicuri oleh rakyat Badung. Laporan tersebut kemudian disusul dengan tuntutan ganti rugi sebesar 3.000 ringgit dari pihak Belanda kepada Raja Badung.
Penolakan Raja Badung dan Blokade Ekonomi
Raja Badung saat itu, I Gusti Ngurah Denpasar, menolak laporan tersebut karena tidak ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut. Meski telah dihadapkan dengan ancaman, Raja Badung tetap bertahan pada pendiriannya dan menolak permintaan ganti rugi yang diminta oleh pihak Belanda. Menyikapi keteguhan raja dan rakyat Badung, pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mengirimkan kapal perang guna melakukan blokade ekonomi terhadap kerajaan tersebut.
Tindakan keras Belanda ini tidak menggoyahkan prinsip Raja Badung. Meskipun kerajaan Badung mengalami kerugian besar akibat blokade ekonomi yang diberlakukan, Raja Badung tetap menolak tunduk pada tuntutan Belanda. Hal ini membuat hubungan antara Kerajaan Badung dan pemerintah kolonial semakin tegang.
Ancaman Militer dan Persiapan Perang
Pada Juli 1906, Gubernur Jenderal Van Hentz mengirim surat ultimatum kepada Raja Badung dan Raja Tabanan, meminta mereka untuk menyerah dalam waktu yang ditentukan. Namun, Raja Badung tetap teguh dalam menolak ancaman tersebut, bahkan dengan mengucapkan sumpah kesetiaan kepada negaranya. Ancaman yang tidak mempengaruhi pendirian Raja Badung ini kemudian disusul dengan ekspedisi militer yang dipimpin oleh Belanda.
Pada 12 September 1906, ekspedisi militer Belanda, yang terdiri dari 16 kapal perang dan 3.053 personel, mulai menuju Selat Badung. Mereka memberikan ultimatum terakhir kepada Raja Badung, yang kemudian ditolak dengan tegas. Pasukan Belanda pun mulai mendarat di Pantai Sanur pada 14 September 1906 dan melakukan serangan ke arah Kesiman, Benteng terdepan Kerajaan Badung.
Perang meletus dengan dahsyatnya di berbagai wilayah sekitar Denpasar, Kesiman, dan Pemecutan. Laskar Badung, meski hanya bersenjatakan senjata tradisional seperti keris, tombak, dan pedang, melawan pasukan Belanda yang dilengkapi dengan senjata modern. Setiap serangan mereka dilakukan dengan semangat pantang menyerah, meskipun harus berhadapan dengan tembakan meriam yang mematikan.
Pada tanggal 18 September 1906, pasukan Belanda memutuskan untuk menyerang Puri Kesiman, benteng pertahanan utama Kerajaan Badung. Pasukan Belanda mengarahkan tembakan meriam ke Puri Kesiman dan wilayah sekitar, yang mengakibatkan kehancuran besar. Setelah pertempuran sengit, Puri Kesiman akhirnya jatuh ke tangan Belanda pada 19 September 1906, yang membuka jalan menuju Puri Denpasar dan Puri Pemecutan.
Pada 20 September 1906, pasukan Belanda melanjutkan serangan mereka ke Puri Pemecutan. Di sana, Raja I Gusti Ngurah Pemecutan dan pasukannya melakukan perlawanan terakhir dengan berani, meskipun mereka tahu bahwa kemenangan Belanda sudah semakin dekat. Setelah bertempur hingga titik darah penghabisan, Raja I Gusti Ngurah Pemecutan dan pengikutnya gugur di medan perang, menandai berakhirnya perlawanan Kerajaan Badung.
Puputan Badung: Simbol Perjuangan dan Keberanian
Puputan Badung bukan hanya sebuah perang, tetapi juga simbol dari semangat heroik dan pantang menyerah dalam membela tanah air. Meskipun kekuatan Belanda jauh lebih besar, Raja Badung dan rakyatnya memilih untuk berperang hingga titik darah terakhir, memperlihatkan bahwa mereka lebih memilih kematian daripada menyerah pada penjajahan.
Peristiwa ini mengorbankan lebih dari 7.000 jiwa dari pihak Kerajaan Badung. Namun, semangat perjuangan mereka tetap hidup dalam ingatan rakyat Bali dan seluruh Indonesia, menjadi inspirasi untuk terus berjuang demi kemerdekaan.
Puputan Badung mengajarkan kita tentang keberanian, pengorbanan, dan semangat patriotisme yang luar biasa. Peristiwa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Semangat yang ditunjukkan oleh Raja Badung dan rakyatnya tetap hidup dalam ingatan kita, menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga kedaulatan dan martabat bangsa.
Bagi rakyat Bali, Puputan Badung adalah simbol kehormatan yang tak akan pernah pudar. Ini adalah cerita tentang keberanian yang tiada bandingnya, yang menginspirasi perjuangan kita dalam mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia hingga titik darah penghabisan.