Sabtu, 04/01/2025 15:04 WIB

Industri Diabaikan, Lupakan Target Ekonomi Tumbuh 8 Persen

Sektor industri telah terjebak ke dalam proses deindustrialisasi dini

Ekonom Senior INDEF dan Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J Rachbini. Foto: twitter

JAKARTA, Jurnas.com – Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan diprediksi akan stagnan di 5 persen. Selama tidak ada kebijakan khusus di bidang industri, maka jangan harap ekonomi tumbuh 8 persen, sebagaimana target yang ditetapkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo.

“Dengan sektor industri yang diabaikan tanpa kebijakan berarti seperti ini, apakah layak kita berharap tumbuh 8 persen?” ujar Ekonom Senior INDEF Prof. Didik J. Rachbini dalam catatan akhir tahunnya yang diterima jurnas.com di Jakarta, Rabu (25/12/2024).

Prof. Didik mengatakan, selama ini tidak ada strategi kebijakan yang berhasil melepaskan sektor industri dari jebakan deindustrialisasi dini dimana PMI (Purchasing Managers Index) sektor tersebar di dalam kue ekonomi ini terus menurun dan jatuh di bawah 50 persen, tepatnya 49,2 persen. Jauh tertinggal dari PMI Manufaktur Vietnam yang telah mencapai 51,2 persen, China 50,3 persen, Thailand 50,0 persen, dan Malaysia 49,5 persen.

Menurut Rektor Universitas Paramadina ini, selama ini sektor industri tumbuh rendah. Dalam beberapa tahun hanya tumbuh sekitar 3-4 persen.

“Ini menunjukkan kinerja yang tidak memadai untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen, apalagi 7 persen seperti target Jokowi atau target 8 persen pada pemerintahan Prabowo Subianto,” ujarnya.

“Jika industri tumbuh rendah seperti ini, maka lupakan target yang tinggi tersebut.  Selama pemerintahan Jokowi sektor ini diabaikan sehingga target pertumbuhan 7 persen sangat meleset,” imbuhnya.

Prof. Didik mengatakan, sektor industri telah terjebak ke dalam proses deindustrialisasi dini, sehingga jebakan ini harus diterobos dengan reindustrialisasi berbasis sumberdaya alam Indonesia yang kaya, bersaing dan memenangkan pasar internasional yang luas dan otomatis berjaya di pasar domestik.

Yang harus dijalankan dan telah terbukti sukses di negara industri, lanjut Prof. Didik, tidak lain adalah resouce-based industry, led-export industry atau outward looking industri. 

Strategi industri tersebut pernah dijalankan pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an dengan hasil yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 7-8 persen.

“Tanpa perubahan strategi seperti ini maka mustahil mencapai target pertumbuhan 8 persen.  Strategi industri bersaing di pasar internasional ini menjadi kunci berhasil atau tidaknya target pertumbuhan tersebut,” tegas Prof. Didik.

Ia pun mengakui, permintaan global memang mengalami perlambatan sehingga menerobos pasar internasional tidak mudah lagi. Karena itu, katanya, pasar-pasar baru di luar Eropa, China, USA perlu dijadikan sasaran perdagangan luar negeri Indonesia.  Para duta besar diberi target untuk meningkatkan ekspor dan menjadikan neraca dagang bilateral menjadi positif.

Selain itu, di liuar permasalahan sektoral, ada masalah fiskal yang harus dihadapi, yakni utang dari tahun ke tahun terus membengkak dari persentase, apalagi nominalnya.

Dari tahun 2010 sampai dengan 2024 rasio utang Indonesia terhadap PDB terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen.  Total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024. 

Menurut Prof. Didik, ini merupakan praktik kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, mengikuti hukum politik dimana rezim memaksimumkan budget (teori budget maximazer) tanpa kendali, tanpa kontrol dan tanpa cek and balances yang sehat. 

“Politik agaran hanya refleksi dari politik yang sakit, demokrasi yang dikebiri dan dilumpuhkan selama 10 tahun ini,” ujarnya.

Karena seantero dunia sudah tahu pemimpin di Indonesia kemaruk utang, maka tingkat suku bunga tergerak naik tidak masuk akal. Suku bunga obligasi utang ini  paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.

Indonesia harus menaikkan tingkat suku bunga yang tidak masuk akal sampai 7,2 persen dengan konsekwensi harus dibayar oleh dan menguras pajak rakyat dalam jumlah yang besar.

Tingkat bunga obligasi di Thailand hanya 2,7 persen, Vietnam 2,8 persen, Singapura 3,2 persen, dan Malaysia 3,9 persen. 

Tingkat suku bunga tinggi ini karena penarikan utang baru dari tahun ke tahun sudah di atas seribu triliun rupiah setiap tahun.

Akibatnya, kualitas belanja memburuk. Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar darri seluruh belanja kementerian negara.

Belanja pemerintah pusat semakin digerogoti pembayaran bunga utang, yang naik pesat dari 11,09 persen (2014) menjadi 20,10 persen (2024).  Secara terus-menerus dan akan terkena dampaknmya pada pemerintahan Prabowo. 

Belanja nonproduktif semakin mendominasi sedangkan belanja produktif mengecil. Belanja non produktif diamati dari belanja pegawai dan belanja barang. Tahun 2014, porsi dua belanja terebut sekitar 34 persen, naik menjadi 36 persen pada 2024. 

“Setiap tahun untuk bunganya saja (tidak termasuk pokok) harus menguras pajak rakyat sebesar 441 triliun rupiah untuk membayar utang,” katanya.

“ Mengelola ekonomi nasional tidak mudah dengan berjanji kepada rakyat dengan sasaran target yang tinggi,” tutup Prof. Didik.

KEYWORD :

Industri Pertumbuhan ekonomi INDEF Universitas Paramadina




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :