Minggu, 29/12/2024 14:37 WIB

Prof. Didik: Agar Berkembang, Ekonomi Syariah Butuh Stimulan

Perlu reformasi penerimaan negara, optimalisasi wakaf produktif, dan penguatan pembiayaan berbasis syariah 

Diskusi Ekonomi Syariah Universitas Paramadina bersama INDEF dan UIN Syarief Hidayatullah, Jumat (27/12/2024). Foto: tangkapanlayar

JAKARTA, Jurnas.com - Ekonomi syariah memerlukan stimulan agar dapat berkembang tidak kalah dengan negara muslim lain.

Demikian salah satu yang disampaikan ekonom senior INDEF yang juga Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini dalam diskusi bertema "Outlook Ekonomi Syariah 2025" yang digelar oleh Universitas Paramadina, INDEF, dan UIN Syarif Hidayatullah, Jumat (27/12/2024).

Diskusi yang diselenggarakan secara daring ini menghadirkan para pakar di bidang ekonomi dan keuangan syariah yang memberikan pandangan dan solusi strategis untuk mengoptimalkan peran ekonomi syariah dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% di masa mendatang. 

Dr. Abdul Hakam Naja, CSED INDEF menekankan pentingnya digitalisasi perbankan syariah dan penguatan UMKM.

Menurutnya, pendirian bank emas (bullion bank) dan penerapan prinsip ESG (Environmental, Social & Governance) dalam bisnis adalah langkah inovatif yang sejalan dengan maqashid syariah. 

Menurutnya, dalam waktu 10 tahun, Malaysia selalu menjadi ranking 1 indikator State of the Global Islamic Economy Report (SGIER) 2023/2024 dan Indonesia menduduki peringkat ke 3 setelah Saudi Arabia.

“Namun, dari 6 indikator (Islamic finance, halal food, muslim-friendly travel, modest fashion, media and recreation, dan pharmaceuticals and cosmetics) skor Indonesia hampir sepertiga skor Malaysia,” katanya.

Dalam konteks pemberdayaan UMKM, Indonesia memiliki UMKM yang sangat tinggi nilainya bahkan jumlah UMKM di Indonesia mencapai 99%.

Di Indonesia, UMKM menyerap 97% angkatan kerja. Sedangkan untuk pangsa sektor manufaktur tertinggi berada di Uzbekistan (18,7%) dan Indonesia (16,7%).

Rasio total pinjaman bank terhadap PDB sangat bervariasi, dari 10,3% di Tajikistan hingga 113,2% di Malaysia, yang menunjukkan tingkat pendalaman keuangan yang berbeda-beda. Sementara itu, negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia mempertahankan rasio NPL yang lebih sehat di angka 1,7% dan 2,4%.

Jumlah penduduk Indonesia mencapai 9 kali lebih tinggi dibandingkan Malaysia pada tahun 2024. Namun untuk aset perbankan syariah Malaysia (Maybank Islamic dan CIMB Islamic) lebih besar dibandingkan perbankan yang sudah besar Indonesia.

Sedangkan perbandingan total aset perbankan syariah di Malaysia adalah Rp4226,81 triliun dan di Indonesia termasuk BPRS baru Rp918,935 triliun. Pembiayaan UMKM di Malaysia sebesar 15% dan di Indonesia 17,7% dari total pembiayaan syariah.

Prospek digitalisasi ke depan harus terus ditingkatkan dengan berupaya meningkatkan literasi dan inklusi keuangan melalui digitalisasi layanan perbankan syariah, terutama untuk kalangan Milenial dan Gen Z, tetapi masalah keamanan di dunia digital harus lebih diperhatikan.

Selanjutnya ekosistem ekonomi syariah dan industri halal melalui pembangunan ekosistem yang mensinergikan sektor keuangan dan perbankan syariah dengan industri halal sebagai kunci keberhasilan pembangunan nasional berkelanjutan

“Potensi besar ekonomi syariah di Indonesia dengan populasi Muslim yang sangat banyak (245 juta) dan selama ini belum dioptimalkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 8% pada 2028,” ujar Hakam Naja.

Dalam konteks Green economy, implementasi ESG (Enviromental, Social, and Governance) sejalan dengan nilai maqashid syariah dalam ekonomi syariah dan bisa menjadi kekuatan bank syariah berkembang pesat.

Dr. Handi Risza Idris, dan Wakil Rektor  Universitas Paramadina, menyoroti pentingnya inovasi dan penguatan sektor ekonomi syariah agar mampu menjadi pendorong utama dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara maju.

"Melalui industrialisasi, pembangunan pusat pertumbuhan baru, ekonomi kreatif, dan peningkatan sumber daya manusia, ekonomi syariah diharapkan mampu menciptakan sumber pertumbuhan baru," ujar Dr. Handi yang juga Wakil Kepala CSED. 

Sementara itu, Prof. Murniati Mukhlisin, memaparkan optimisme atas pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah tantangan global. "Dengan inflasi yang terkendali dan tingkat pengangguran yang stabil, ekonomi syariah dapat menjadi penopang utama dalam menciptakan keseimbangan ekonomi melalui peran aktif pada sektor-sektor produktif," katanya. 

Adapun Prof. Nur Hidayah menggarisbawahi perlunya optimalisasi sektor halal dan pembelajaran dari negara tetangga seperti Malaysia.

"Market share perbankan syariah Indonesia masih 7,38% dibandingkan Malaysia yang mencapai 42%. Selain itu, sektor makanan, kosmetik, dan pariwisata halal masih memiliki potensi besar untuk digarap secara maksimal," jelas Kepala CSED INDEF ini. 

Melengkapi diskusi, Dr. Rahmat Mulyana menyampaikan strategi pengelolaan fiskal Islami untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Ia menekankan perlunya reformasi penerimaan negara, optimalisasi wakaf produktif, dan penguatan pembiayaan berbasis syariah sebagai solusi atas berbagai tantangan fiskal.

Beberapa tantangan fiskal menurut Rahmat di antaranya adalah masalah ketidakefisienan pengelolaan anggaran. Masalah selanjutnya adalah ketimpangan distribusi pendapatan, seperti bansos tetapi tidak mengurangi ketimpangan dan cenderung konsumtif. Kemuidian keberlanjutan fiskal terancam karena beban hutang tinggi mendekati 40% dan bunga hutangnya sudah Rp500 triliun.

“Adanya tumpeng tindih dan sistem perpajakan yang kurang berkeadilan (PPN akan menjadi 12% tetapi tax rationya belum 10% artinya pajak pajak yang lain baru menyumbang 7%),” ujarnya.

KEYWORD :

Paramadina INDEF UIN Syarief Hidayatullah Ekonomi Syariah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :