Rabu, 15/01/2025 22:48 WIB

Sejarah Peristiwa Malari, Malapetaka 15 Januari 1974

Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) menjadi titik balik yang mengguncang stabilitas politik dan ekonomi Indonesia

Ilustrasi - Sejarah Peristiwa Malari, Malapetaka 15 Januari 1974 (Foto: Sejarah Kelam Indonesia)

Jakarta, Jurnas.com - Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) menjadi titik balik yang mengguncang stabilitas politik dan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Peristiwa yang terjadi pada 15–16 Januari 1974 ini dipicu oleh sejumlah faktor yang mengakar, termasuk ketidakpuasan terhadap ketergantungan Indonesia pada modal asing, terutama dari Jepang. Berikut ini ulasannya yang dirangkum dari berbagai sumber.

Awal Mula Malari, Kemarahan yang Tak Terbendung

Di awal 1974, pemerintah Indonesia membuka kerja sama ekonomi dengan Jepang, sebuah keputusan yang memicu gelombang kritik. Mahasiswa dan kelompok nasionalis khawatir bahwa kebijakan ini hanya akan menguntungkan segelintir elite, sementara pengusaha pribumi tersingkir. Upaya mereka untuk berdialog dengan Presiden Soeharto berujung buntu. Sebaliknya, Soeharto justru menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, ke Indonesia. Momen ini menjadi pemicu demonstrasi besar-besaran yang kemudian berujung pada Peristiwa Malari.

Puncak Kerusuhan Malari, Jakarta Membara

Pada 15 Januari 1974, aksi protes mahasiswa yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan hebat setelah adanya provokasi dari pihak yang dicurigai sebagai agent provocateur. Massa yang marah mulai melakukan aksi perusakan, membakar kendaraan-kendaraan buatan Jepang, serta menjarah dan menghancurkan pusat-pusat bisnis. Dalam waktu singkat, Jakarta berubah menjadi lautan api. Sebanyak sebelas orang tewas dan ratusan bangunan serta kendaraan luluh lantak akibat aksi massa yang tak terkendali.

Dampak Besar Malari yang Mengubah Peta Kekuasaan

Peristiwa Malari membawa konsekuensi besar bagi berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Dari sisi ekonomi, pemerintah mulai menerapkan kebijakan yang lebih berpihak pada pengusaha pribumi, dengan regulasi yang mengharuskan adanya kemitraan antara investor asing dan pengusaha lokal. Sayangnya, implementasi kebijakan ini tidak berjalan optimal.

Dari sisi politik, Malari mengguncang kekuatan dalam tubuh militer. Jenderal Soemitro, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib, dituduh terlibat dalam kerusuhan dan dipaksa mundur. Banyak pendukungnya yang dicopot dari jabatan strategis atau dimutasi, sementara rivalnya, Ali Moertopo, semakin mengukuhkan pengaruh di lingkaran kekuasaan Soeharto.

Dalam ranah kebebasan pers, pemerintah semakin menekan media dan membatasi ruang demokrasi. Dua belas surat kabar dan majalah, termasuk Indonesia Raya, dicabut izinnya. Wartawan senior seperti Mochtar Lubis ditahan tanpa pengadilan. Pembungkaman kritik semakin sistematis, menandai awal dari kontrol ketat terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.

Tak hanya itu, lembaga Aspri (Asisten Pribadi Presiden) yang selama ini menjadi kelompok berpengaruh dalam pemerintahan resmi dibubarkan. Namun, tokoh-tokohnya tetap bertahan dan mengisi jabatan strategis di pemerintahan.

Pelajaran dari Malari

Peristiwa Malari menjadi pengingat bahwa ketidakpuasan rakyat yang diabaikan dapat meledak menjadi krisis besar. Gerakan mahasiswa yang awalnya bertujuan memperjuangkan keadilan ekonomi berkembang menjadi ancaman bagi stabilitas rezim Orde Baru. Namun, alih-alih berbenah, pemerintah justru merespons dengan langkah represif yang semakin membungkam suara rakyat.

Hampir lima dekade setelah peristiwa ini, refleksi terhadap Malari tetap relevan. Pemerintahan yang transparan, kebijakan ekonomi yang inklusif, serta ruang demokrasi yang sehat harus terus dijaga agar sejarah kelam ini tidak terulang. Malari bukan sekadar catatan sejarah, tetapi peringatan bahwa suara rakyat tidak boleh diabaikan.

 

KEYWORD :

Peristiwa Malari Malapetaka Limabelas Januari Sejarah Indonesia 15 Januari sejarah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :