Kamis, 30/01/2025 16:21 WIB

Kasus Pagar Laut, Pemerintah Diminta Pahami Undang-undang

Polemik pagar laut di perairan Tangerang, Banten, dinilai menjadi ujian bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Personel TNI AL membongkar pagar laut di Tangerang, Banten. Foto: dok. Jurnas

Jakarta, Jurnas.com - Polemik pagar laut di perairan Tangerang, Banten, dinilai menjadi ujian bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sikap pemerintah dalam menyelesaikan persoalan ini menjadi cerminan apakah kebijakan yang dikeluarkan negara berdasarkan landasan hukum atau justru karena tekanan dari pihak tertentu.

Demikan disampaikan pengamat hukum dan politik Pieter C Zulkifli dalam catatan analisinya terhadap polemik yang ramai diperbincangkan publik belakangan ini. Pieter Zulkifli mengaku menanti sejauh mana pemerintah mampu menjalankan amanat hukum dengan tegas tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian.

"Kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tetapi juga menjadi cerminan apakah kebijakan negara mampu berdiri tegak di atas landasan hukum dan keadilan sosial, atau justru terombang-ambing oleh tekanan pihak tertentu," kata Pieter Zulkifli kepada wartawan, Jakarta, Rabu, 29 Januari 2025.

Mantan Ketua Komisi III DPR RI itu mengatakan jika drama misteri keberadaan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Tangerang, Banten, itu menjadi sorotan setelah adanya penyegelan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kementerian KKP bahkan mengultimatum pihak pemagaran untuk membongkar dalam waktu 20 hari sejak Jumat, 10 Januari 2025.

Namun, kata dia, hingga saat ini kasus itu justru lebih banyak memunculkan pertanyaan daripada jawaban. Perintah tegas Presiden Prabowo melalui Ketua MPR sekaligus Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani untuk menyegel dan membongkar pagar laut tersebut tampaknya tidak berjalan mulus.

Sebab, saat 600 personel TNI Angkatan Laut mendatangi garis pantai Tanjung Pasir untuk melaksanakan perintah pembongkaran pada Sabtu, 18 Januari 2025, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono justru meminta pembongkaran ditunda dengan alasan perlunya kajian lebih mendalam.

Pieter Zulkifli berpandangan ketidaksepahaman ini menyoroti lemahnya koordinasi antarkementerian. Padahal, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto sudah menegaskan bahwa pembongkaran tetap harus dilanjutkan karena merupakan arahan langsung dari Presiden Prabowo.

Namun, di sisi lain, Menteri Trenggono menyuarakan perlunya kehati-hatian dalam eksekusi untuk menghindari dampak hukum yang lebih luas. Hingga kini, misteri tentang siapa dalang dan pendana pembangunan pagar laut ini belum terpecahkan.

Menurut dia, dengan estimasi biaya sebesar Rp1,5 miliar banyak pihak mempertanyakan bagaimana proyek besar seperti itu bisa luput dari pengawasan pemerintah. Apalagi, isu yang berkembang sejauh ini adalah pagar laut tersebut berkaitan dengan proyek perluasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Namun, pihak pengembang telah membantah keterlibatan mereka," kata Pieter Zulkifli.

Informasi terbaru, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mencabut Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah tersebut setelah memeriksa dokumen yuridis, prosedur administrasi, dan kondisi fisik material tanah.

Meski langkah ini menuai apresiasi dari beberapa pihak, ada juga kritik yang menyebut pencabutan sertifikat tersebut terlalu emosional dan tidak sepenuhnya memahami aturan perundang-undangan yang berlaku.

Pieter Zulkifli mengungkapkan menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, definisi tanah meliputi permukaan bumi, tubuh bumi di bawahnya, serta yang berada di bawah kolom air.

Artinya, baik perairan pesisir maupun yang ada di danau atau sungai termasuk dalam definisi tanah. Pada 1 ayat (4) UUPA menyatakan dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi yang di bawahnya serta yang berada di bawah air.

"Khusus untuk tanah yang berada di bawah kolom air, tak bisa melepaskan diri dari peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Spesifikasinya sebagai berikut, bila yang dimanfaatkan adalah kolom airnya maka masuk dalam regulasi  di wilayah otoritas Kementrian KKP untuk tingkat pusat, untuk tingkat daerah adalah  Bupati atau dinas terkait," kata Pieter Zulkifli.

Dia melanjutkan hal ini diperkuat dengan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan yang mengatur pendirian, penempatan, dan/atau pembongkaran bangunan di laut. Dengan demikian, secara yuridis, hak atas perairan dapat disertifikatkan.

Mengerucut pada ayat (3) pasal a quo, dijabarkan lebih rinci bahwa di atas dan atau di bawah permukaan laut secara menetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yakni berupa mengapung di permukaan laut, berada di kolom air: dan atau berada di dasar laut. Berdasarkan UU di atas, secara yuridis atau hukum, hak atas perairan dapat disertifikatkan.

"Artinya, langkah Nusron Wahid dalam mencabut sertifikat tanah di kawasan ini sangat berlebihan, alih-alih menimbulkan kontroversi. Sebagai pejabat publik, dia seharusnya berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berdampak luas," katanya.

Untuk itu, Pieter Zulkifli berharap Presiden Prabowo tidak terpengaruh oleh opini yang digiring oleh kelompok tertentu atau para pembisik yang ingin mencari muka. Sebaliknya, penyelesaian kasus ini harus dilakukan berdasarkan bukti dan aturan hukum yang berlaku.

Pieter Zulkifli menuturkan kasus ini memberikan pelajaran penting bahwa pemerintah tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan. Tak hanya itu, negara tidak dapat membuat pengecualian hukum, bahkan untuk kasus yang menjadi perhatian publik sekalipun.

Dia mengatakan suatu negara yang dalam penyelenggaraannya berlandaskan pada hukum, maka hukumlah yang menjadi panglima dalam segala aspek kehidupan bernegara. Sedangkan kekuasaan adalah kemampuan atau kewenangan untuk mempengaruhi atau mengendalikan orang lain atau suatu sistem.

"Hukum menjadi sumber legitimasi kekuasaan, yang dijamin dalam konstitusi Negara Indonesia, yaitu UUD 1945," tegasnya.

Dia pun mengutip pernyataan Baharudin Lopa untuk persoalan pagar laut ini. Pernyataan Baharudin Lopa yang dikutip Pieter Zulkifli, yaitu `Banyak yang salah jalan tetapi merasa benar karena banyak teman suka melakukan kesalahan. Beranilah menjadi benar meskipun sendirian`.

"Pemerintah harus memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu," katanya.

Di sisi lain, dia berharap penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga yang berwenang harus mampu mengungkap aktor utama di balik pembangunan pagar laut tersebut. Pieter Zulkifli bahkan meminta pemerintah untuk bersikap tegas jika ditemukan adanya pelanggaran hukum.

Bagi dia, kasus pagar laut ini merupakan ujian bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk menunjukkan komitmennya terhadap penegakan hukum dan keadilan.

"Di tengah berbagai spekulasi dan tekanan, pemerintah perlu mengambil langkah yang tidak hanya tegas tetapi juga bijaksana, demi menjaga kepercayaan publik dan memastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata dia.

KEYWORD :

Kasus Pagar Laut Pemerintah Harus Pahami UU Presiden Prabowo Subianto Pieter Zulkifli




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :