Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem, Rudianto Lallo. (Foto: Dok. Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Komisi III DPR RI meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mengevaluasi Kapolda Kalimantan Barat Irjen Pipit Rusmanto. Evaluasi itu perlu dilakukan buntut adanya dugaan Pipit melindungi anggotanya Briptu AR yang menembak mati Agustino, warga Dusun Mendauk, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang.
Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo mengingatkan agar petinggi Polri tidak mencoba melindungi anggotanya yang memang terlibat tindak pidana. Apalagi, sampai menghilangkan nyawa warga sipil.
"Kalau ada pimpinan di tingkat Polda masih melindungi saya kira Kapolri harus turun tangan, turun tangannya bagaimana termasuk evaluasi kerja Kapolda," kata Lallo kepada wartawan, Jakarta, Rabu (5/2).
Menurut dia, pelanggaran hukum yang dilakukan anggota polisi hingga merenggut nyawa warga harus diproses seadil-adilnya. Sehingga, tidak ada alasan petinggi di kepolisian mencoba melakukan perbuatan culas seperti melindungi anggotanya yang terlibat.
"Saya tidak mau bicara evaluasi personal, itu kan tidak fair, kalau bicara case-nya meninggal siapa pun yang terlibat harus diproses hukum, dan pimpinan Polri tidak boleh melindungi anggotanya yang terbukti melakukan perbuatan tercela atau melanggar hukum," tegasnya.
Politikus NasDem ini mengingatkan, agar pelaku penembakan Agustino diproses secara hukum pidana. Dia juga mendorong penyelesaian kasus ini dilakukan dengan berkeadilan.
Artinya, kata dia, tidak boleh ada petinggi Polri, khususnya Pipit menyamarkan runutan peristiwa penembakan. Termasuk, meminimalkan hukuman terhadap pelaku penembakan Agustino.
"Kita mendorong agar itu diproses seadil-adilnya, dengan cara apa, ya kalau dia di pelanggaran kode etik kepolisian ya diberhentikan secara tidak hormat, ya kalau betul mengakibatkan hingga meninggal," katanya.
Legislator Dapil Sulsel I ini meminta Polri memberi sanksi yang setimpal kepada pelaku kejahatan, sekalipun melibatkan anggotanya. Dia bahkan menyebut jika hukuman yang pantas terhadap anggota penembak waga sipil hingga meninggal dunia adalah pemecatan secara tidak hormat.
Informasi teranyar, pelaku penembakan Briptu AR hanya mendapat hukuman demosi selama tiga tahun dan penempatan khusus selama 30 hari.
Warga Kalbar yang menerima kabar itu pun tak terima dengan hukuman tersebut. Mereka bahkan mendesak agar Kapolri turun tangan mengusut dugaan Pipit tengah melindungi anggotanya dari kasus tersebut.
Lallo mendorong Polda Kalbar, khususnya Pipit agar tidak lagi membuat langkah-langkah yang terkesan melindungi Briptu AR. Dia menuturkan sanksi tegas terhadap anggota yang melakukan perbuatan tercela bisa memberikan efek jera.
"Kita mendorong, khususnya di Polda agar tidak lagi terkesan melindungi, apalagi menutup-nutupi kasus yang dilakukan oleh oknum, anggotanya, kalau ada anggotanya yang melanggar, melakukan perbuatan tercela maka dia harus dihukum seberat-beratnya jangan malah terkesan dilindungi, karena kita ingin ada efek jera, supaya peristiwa itu tidak berulang," kata dia.
Terakhir, Lallo menilai hukuman demosi yang dijatuhi Polda Kalbar terhadap Briptu AR bukan putusan yang berkadilan bagi masyarakat, khususnya keluarga korban Agustino. Menurutnya, hukuman itu justru hanya membuat persepsi buruk terhadap penegakan hukum di Tanah Air.
"Kenapa hukumannya rendah, apalagi dilindungi lewat putusan demosi, itu pasti selain tidak berkeadilan itu akan memunculkan persepsi ada kekebalan hukum, itu yang kita tidak mau, semua di hadapan hukum," tandasnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo didesak segera mencopot Kapolda Kalimantan Barat (Kalbar) Irjen Pipit Rismanto. Pipit dianggap gagal memberi rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya terhadap Agustino yang tewas ditembak oknum polisi Briptu AR pada 7 April 2023.
Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Pontianak Mikhael Tae menilai penanganan kasus Agustino masih jauh dari prinsip keadilan dan transparansi. Bahkan berdasarkan keterangan keluarga korban dan kuasa hukumnya, terdapat banyak kejanggalan dalam proses hukum terhadap pelaku.
Atas hal tersebut, PMKRI pun melayangkan lima tuntutan atas kasus tersebut. Kelima tuntutan PMKRI itu antara lain;
1. Kapolda Kalimantan Barat bertanggung jawab atas gagalnya penegakan hukum dan segera mengambil langkah konkret untuk memastikan transparansi dalam kasus ini.
2. Transparansi penuh dalam proses hukum*terhadap Briptu AR, termasuk membuka hasil penyelidikan kepada publik.
3. Proses hukum yang adil dan setimpal bagi pelaku, dengan mengedepankan prinsip hukum yang berlaku tanpa ada intervensi atau perlindungan institusional.
4. Dukungan bagi keluarga korban, baik dalam proses hukum maupun pemulihan sosial akibat tragedi ini.
5. Komitmen serius dari pemerintah dan institusi kepolisian dalam mencegah tindakan represif oleh aparat serta menjamin keamanan dan hak masyarakat sipil.
Lebih penting dari kelima tuntutan itu adalah meminta Kapolri secepatnya mencopot Pipit sebagai pucuk pimpinan Polda Kalbar. PMKRI Pontianak kembali menegaskan bila Pipit sudah gagal memberi rasa keadilan bagi masyarakat.
Terakhir, Mikhael menekankan Pmkri Pontianak akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan. Dia mengajak seluruh elemen masyarakat, aktivis, dan organisasi sipil untuk bersama-sama bersuara menentang segala bentuk impunitas dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara.
"PMKRI Pontianak juga tergabung di dalam Aliansi Lawan Ketidakadilan dan Pelanggan HAM yang sudah memiliki visi yang sama untuk mengusut tuntas kasus ini," kata Mikhael.
KEYWORD :
Warta DPR Komisi III Rudianto Lallo NasDem Kalimantan Barat Kalbar