Kamis, 06/02/2025 15:55 WIB

Kenapa Syaban Disebut Bulan Ruwah? Ini Makna dan Penjelasannya

Di Jawa, bulan yang penuh berkah ini juga dikenal dengan nama Ruwah—sebuah penamaan kalender Jawa, serta istilah yang erat kaitannya dengan tradisi mengenang para leluhur

Ilustrasi Tradisi Ruwahan di bulan Ruwah yang bertepatan dengan bulan Syaban di Jogakarta, Jawa Tengah (Foto: Wartajogjakarta)

Jakarta, Jurnas.com - Bulan Sya`ban, yang jatuh beberapa minggu sebelum bulan Ramadan, memiliki makna mendalam bagi banyak masyarakat Muslim di dunia termasuk di Indonesia, khususnya di Jawa. Di Jawa, bulan yang penuh berkah ini juga dikenal dengan nama Ruwah—sebuah penamaan kalender Jawa, serta istilah yang erat kaitannya dengan tradisi mengenang para leluhur.

Sya`ban dalam budaya Jawa tak hanya dipahami sebagai bulan menjelang Ramadan, tetapi juga sebagai waktu untuk merenung dan mendoakan arwah para leluhur. Dilansir dari laman FTK Unisnu Jepara sstilah Ruwah sendiri sering dikaitkan dengan kata “arwah”, yang dalam bahasa Jawa mengacu pada roh atau jiwa orang yang telah meninggal.

Menurut Raden Tumenggung Tondonagaro, budayawan yang juga abdi dalem Keraton Surakarta, kata "Ruwah" berasal dari ungkapan “meruhi arwah” yang berarti berziarah atau mengunjungi makam para leluhur yang telah berpulang. Di bulan Sya`ban, banyak masyarakat Jawa yang melakukan berbagai ritual untuk mengenang leluhur mereka. Aktivitas seperti nyadran atau sadran, tahlilan, sedekah, tasyakuran, nyekar, hingga ziarah kubur menjadi kegiatan yang umum dilakukan.

Tidak jarang, kuburan-kuburan, terutama makam para wali, dipenuhi pengunjung yang datang untuk mendoakan mereka. Tradisi ini bukan hanya sebagai penghormatan, tetapi juga menjadi waktu untuk merenung dan mengingat kematian serta kehidupan setelahnya. Banyak yang percaya bahwa di bulan ini, para ahli kubur menunggu kedatangan anak cucu dan sanak saudara untuk mendoakan mereka.

Aktivitas ziarah kubur di bulan Sya`ban sering dipandang sebagai bentuk sungkeman atau permohonan doa dari anak cucu kepada leluhur, agar diberkahi dan diberikan kekuatan dalam menyambut Ramadhan. Namun, penting untuk dipahami bahwa Ruwahan tidak hanya tentang kirim doa semata.

Menurut ajaran Rasulullah SAW, ziarah kubur memiliki makna yang jauh lebih dalam sebagai pengingat kematian dan kehidupan akhirat. Tahlilan, nyekar, dan doa di makam lebih dari sekadar ritual—mereka ialah panggilan untuk merenungkan takdir kita, yaitu kematian yang pasti akan datang.

Berkaitan dengan hal ini, al-Ghazali mengungkapkan bahwa mengenang kematian memiliki banyak manfaat spiritual. Perenungan tersebut dapat menyembuhkan jiwa, menyegarkan spiritual yang lelah, dan membangkitkan kekuatan batin yang hilang.

Bahkan, kini, renungan tentang kematian telah diterima sebagai metode terapi psikologis yang efektif, terutama untuk mereka yang ingin meninggalkan kebiasaan buruk. Penelitian dalam buku The Secret of Kematian karya Fakhrurrozi menunjukkan bahwa dengan merenungkan kematian, seseorang akan lebih bersyukur dan lebih peka dalam menghargai hidup.

Di dalam Islam, dzikrul maut—mengingat kematian—adalah ibadah yang sangat dianjurkan. Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan umatnya untuk sering mengingat kematian, baik melalui doa, ziarah kubur, atau perenungan pribadi. Dengan menyadari kenyataan kematian, seorang Muslim diharapkan dapat lebih ikhlas dalam menjalani hidup dan lebih tekun dalam beribadah, mempersiapkan diri menyambut kehidupan akhirat.

Wallohu`alam

KEYWORD :

Bulan Syaban Bulan Ruwah Ruwahan Nyadran Jelang Ramadan




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :