Jum'at, 07/02/2025 20:02 WIB

7 Februari Ada Peristiwa Talangsari, Pelanggaran HAM Berat 1989

Peristiwa Talangsari 1989 merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur

Aksi Peringatan Peristiwa Talangsari di Kejaksaan Agung Jakarta, Kamis (Foto: Amnesty International)

Jakarta, Jurnas.com - Peristiwa Talangsari 1989 merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi pada 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur. Tragedi ini bermula dari penerapan asas tunggal Pancasila yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru dan memicu konflik dengan kelompok-kelompok yang dianggap tidak sejalan, termasuk komunitas yang dipimpin oleh Warsidi.

Kelompok ini, yang semula hanya berjumlah beberapa orang, berkembang menjadi sebuah komunitas yang menamakan diri Komando Mujahidin Fisabilillah. Dirangkum dari berbagai sumber, keberadaan mereka terpantau oleh pemerintah setempat setelah adanya laporan bahwa kelompok ini dianggap terlibat dalam kegiatan yang mencurigakan, yang akhirnya memicu ketegangan dengan pihak militer.

Pada 1 Februari 1989, camat setempat melaporkan keberadaan kelompok Warsidi kepada pihak militer, yang pada 6 Februari mulai melakukan penyerangan dengan mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Kapten Soetiman. Bentrokan antara warga Talangsari dan pasukan militer pun pecah, yang mengakibatkan tewasnya Kapten Soetiman.

Sebagai balasan, pada 7 Februari 1989, militer di bawah komando Kolonel Hendropriyono melancarkan serangan besar-besaran ke Talangsari. Selama penyerangan yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan penuh, termasuk tembakan dan pembakaran rumah, sekitar 246 warga sipil tewas, ratusan lainnya disiksa dan ditahan tanpa proses hukum, seperti dikutip dari Amnesty International.

Sedangkan berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan.

Peristiwa Talangsari ini diselidiki oleh Komnas HAM pada 2005, yang menemukan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sangat sistematis dan terencana. Hasil investigasi menyebutkan bahwa tragedi ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan undang-undang yang ada.

Sejak saat itu, para korban dan keluarga mereka terus berjuang untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan, namun upaya hukum untuk memproses kasus ini menemui jalan buntu. Komnas HAM sendiri telah mengajukan laporan kepada Kejaksaan Agung, namun berkas penyelidikan sering kali ditolak karena alasan kurangnya bukti formal.

Pada 20 Februari 2019, pemerintah mengadakan deklarasi damai yang menyatakan bahwa kasus Talangsari telah selesai, meskipun hal ini ditolak oleh banyak pihak, termasuk keluarga korban. Deklarasi tersebut, yang tidak melibatkan korban secara langsung, dianggap hanya sebagai upaya negara untuk menutupi luka lama dan meredakan ketegangan.

Setelah hampir empat dekade, tragedi ini tetap menjadi luka mendalam bagi keluarga korban. Meskipun sejumlah pihak berupaya menuntut keadilan, hingga kini pemerintah belum menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh.

Penting untuk dicatat bahwa proses hukum terhadap peristiwa Talangsari telah lama berjalan namun terhambat oleh berbagai faktor, termasuk adanya kelompok yang memilih berdamai dengan pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat upaya-upaya baru yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini melalui mekanisme non-yudisial.

Namun, sebagian besar pihak yang terlibat, terutama organisasi masyarakat sipil, menganggap bahwa penyelesaian non-yudisial ini hanya akan memperburuk ketidakadilan yang ada. Mereka menuntut agar negara bertanggung jawab untuk mengungkap kebenaran dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan bagi para korban.

Pada 2023, pemerintah melalui Presiden ke-7 Joko Widodo mengakui bahwa Peristiwa Talangsari yang terjadi pada 1989 merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kategori berat yang terjadi di Indonesia. Dalam pernyataannya pada 11 Januari 2023 di Istana Negara, Presiden Jokowi mengungkapkan, "Dengan pikiran jernih dan hati yang tulus sebagai Kepala Negara, saya mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di masa lalu.

Terbaru pada peringatan 36 tahun Peristiwa Talangsari, tepatnya pada Jumat 7 Februari 2025, sejumlah organisasi, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Amnesty International Indonesia, dan Asia Justice and Rights (AJAR), mengecam kelalaian dan pengabaian negara dalam penuntasan peristiwa tersebut.

Dikutip dari Amnesti International, mereka menuntut Jaksa Agung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan pro-yustisia kasus Talangsari 1989 yang telah dilakukan oleh Komnas HAM ke tahap penyidikan dan penuntutan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 dan 23 Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Selain itu, mereka juga mendesak Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk meningkatkan koordinasi agar dapat memperoleh barang bukti yang dibutuhkan dalam proses hukum. Tak hanya itu, organisasi-organisasi ini menuntut agar pemerintah memenuhi hak korban Peristiwa Talangsari 1989, yang mencakup pengungkapan kebenaran dan pemulihan, termasuk dengan melakukan memorialisasi atas peristiwa tersebut.

KEYWORD :

Peristiwa 7 Februari Peristiwa Talangsari Pelanggaran HAM Sejarah Sejarah Indonesia




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :