Sabtu, 08/02/2025 15:51 WIB

Kasus Pagar Laut Tangerang, Penegakan Hukum Harus Berbasis Fakta Bukan Asumsi Ceroboh

Penegakan hukum terhadap kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten, harus dipastikan berbasis fakta bukan asumsi ceroboh dari segelintir pihak.

Pagar laut di pesisir Tangerang, Banten. (Foto: Dok. Kompas)

 

Jakarta, Jurnas.com - Penegakan hukum terhadap kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten, harus dipastikan berbasis fakta bukan asumsi ceroboh dari segelintir pihak. Kasus pagar laut bahkan bukan sekadar persoalan administrasi pertanahan.

Demikian disampaikan pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C Zulkifli, SH., MH., dalam analaisisnya. Dia menyatakan penanganan kasus ini dapat menjadi cerminan bagaimana hukum bisa dijalankan secara serampangan jika tidak berbasis pada fakta yang kuat.

"Ketika lembaga penegak hukum bertindak atas dasar asumsi tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam, kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan semakin terkikis," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (8/2).

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini mengingatkan tentang legalitas sertifikat tanah di wilayah perairan yang seharusnya ditangani dengan pendekatan regulasi yang jelas, bukan sekadar opini atau tekanan politik sesaat.

Jika hukum terus dipermainkan sesuai dengan kepentingan tertentu, kata dia, maka bukan hanya keadilan yang terancam, tetapi juga stabilitas investasi dan kepastian hukum di Indonesia.

Menurut Pieter Zulkifli, kebenaran mungkin bisa ditenggelamkan tapi akan selalu mencari celah untuk muncul ke permukaan. Namun, dalam sistem yang dipenuhi kepentingan dan prasangka, tidak semua kebenaran dapat diterima begitu saja, terutama oleh mereka yang menolak menerima kenyataan.

"Kasus pagar laut di Tangerang menjadi contoh nyata betapa penegakan hukum yang sembrono dapat menciptakan kegaduhan yang merugikan banyak pihak," ucapnya.

Dalam perjalanan kasus ini, beredar surat dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang meminta data penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Desa Kohod, Tangerang. Surat ini diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan sertifikat tersebut, yang ramai diperbincangkan setelah kasus pagar laut mencuat.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar dalam pernyataannya menyebut tujuan penyelidikan ini tidak lain untuk memastikan kejaksaan tidak tertinggal dalam isu tersebut.

Pieter Zulkifli mengingatkan Kejagung tidak boleh tergesa-gesa berasumsi adanya tindak korupsi dalam kasus ini tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam. Jika dugaan ini tidak berdasar, konsekuensinya bukan hanya hanya mencederai kredibilitas institusi hukum, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang berdampak luas.

"Masyarakat pun mempertanyakan, bagaimana mungkin wilayah perairan bisa memiliki sertifikat tanah? Apakah ada pelanggaran regulasi atau justru pemerintah sendiri yang tidak konsisten dalam menafsirkan hukum? Pertanyaan ini harus dijawab dengan pendekatan hukum yang jelas, bukan sekadar opini dan asumsi belaka," ucapnya.

Tak hanya institusi penegak hukum, Pieter Zulkifli menilai jika Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga tidak lepas dari sorotan. Dia mengatakan salah satu yang dipelototi publik ialah cara kementerian menangani persoalan pagar laut yang terkesan ceroboh, arogan, dan tidak berbasis pemahaman hukum yang utuh.

"Sikap represif tanpa mempertimbangkan berbagai aspek lainnya justru berpotensi merugikan kepentingan negara. Logika hukum yang digunakan haruslah berbasis regulasi yang berlaku, bukan hanya berdasarkan kepentingan politik atau tekanan publik sesaat," katanya.

Dia menerangkan berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, hak atas tanah tidak hanya terbatas pada daratan, tetapi juga mencakup wilayah perairan atau perbatasan pesisir.

Proses pengajuan hak ini bahkan harus melalui Kementerian Kelautan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Selain itu, dalam Pasal 1 angka (7) PP Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah, disebutkan bahwa perizinan terkait kegiatan yang memanfaatkan ruang laut adalah legalitas yang diberikan kepada badan usaha atau masyarakat untuk menjalankan usahanya di wilayah perairan pesisir dan laut.

Dengan demikian, kata dia, secara yuridis tanah di bawah air memang dapat disertifikatkan. Sehingga, proses hukum dalam kasus pagar laut harus mengikuti kerangka regulasi ini, bukan didasarkan pada asumsi semata.

Untuk itu, Pieter Zulkifli menekankan agar kejaksaan bekerja secara profesional dan transparan, tanpa intervensi politik atau kepentingan tertentu. Kejaksaan harus membuktikan pelanggaran hukum dengan bukti dan fakta, bukan dugaan mengada-ada yang justru merugikan banyak pihak.

Di sisi lain, dia berpendapat agar pemerintah mempertimbangkan dampak terhadap iklim investasi di Indonesia atas penanganan kasus tersebut. Menurutnya, program Investasi Nasional bisa terganggu jika para pejabat yang bertanggung jawab tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap regulasi yang berlaku.

"Keputusan yang gegabah dan tidak berdasarkan hukum akan menurunkan kepercayaan investor, yang pada akhirnya merugikan perekonomian nasional," kata dia.

Pieter Zulkifli juga berharap Presiden Prabowo Subianto lebih peka terhadap situasi ini. Jangan sampai ada sekelompok elite dengan logika bolong dan agenda politik tersembunyi melakukan pembusukan terhadap pemerintahan yang seharusnya bersih dan jujur.

"Transparansi dan profesionalisme dalam penyelidikan adalah kunci utama untuk memastikan keadilan ditegakkan tanpa merugikan kepentingan nasional," kata dia.

Dia kembali menegaskan bila kasus pagar laut Tangerang adalah ujian bagi integritas penegakan hukum di Indonesia. Kejaksaan dan Kementerian ATR/BPN harus belajar dari prinsip dasar, yakni kebenaran tidak bisa dibungkam selamanya.

Namun, kebenaran juga tidak boleh disampaikan dengan cara yang ceroboh dan arogan. Dia menyatakan negara ini butuh penegakan hukum yang adil, transparan, dan profesional, bukan yang dipenuhi dengan asumsi dan kepentingan politik.

Pieter Zulkifli mengungkapkan sudah saatnya penegakan hukum di Indonesia berpegang teguh pada prinsip keadilan, bukan asumsi atau kepentingan politik. Jika hukum benar-benar dijalankan sesuai dengan aturan, maka masyarakat akan mendapat edukasi yang baik, dan kepercayaan terhadap institusi negara pun akan meningkat.

"Jangan biarkan hukum menjadi alat kepentingan, karena keadilan harus ditegakkan untuk semua, tanpa kecuali," tegasnya.

KEYWORD :

Kasus Pagar Laut Tangerang Pieter Zulkifli Penegakan Hukum Harus Berbasis Fakta Kasus Pagar Laut




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :