![SEAMEO Regional Center for Food and Nutrition (RECFON) - Pusat Gizi Regional Universitas Indonesia (PKGR UI) menyelenggarakan diseminasi temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) di Indonesia](https://www.jurnas.com/images/posts/1/2025/2025-02-13/5f0de4aa0688bd3faa4c58284b3fc3ca_1.jpeg)
Peluncuran temuan awal studi AASH di Indonesia dan juga diskusi kebijakan percepatan penurunan stunting (Foto: Ist/Jurnas.com)
Jakarta, Jurnas.com - SEAMEO Regional Center for Food and Nutrition (RECFON) - Pusat Gizi Regional Universitas Indonesia (PKGR UI) menyelenggarakan diseminasi temuan awal studi Action Against Stunting Hub (AASH) di Indonesia.
Berdasarkan temuan awal menunjukkan bahwa stunting bukan hanya terbatas pada masalah gizi, melainkan juga berhubungan dengan faktor epigenetik, kesehatan saluran cerna, infeksi, mikrobiota, serta kesehatan mental ibu.
Melihat hal itu, Country Lead Studi AASH di Indonesia, Dr. Umi Fahmida mengatakan, dengan adanya temuan awal studi, tentunya itu bisa dimanfaatkan oleh para pemangku kepentingan untuk menanggulangi stunting.
"Kami memang mendedikasikan data-data yang kaya ini silahkan dimanfaatkan, tidak hanya untuk ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai dasar dalam pengambil kebijakan," kata Umi di Jakarta, Kamis (13/2/2025).
AASH merupakan studi interdisiplin yang bertujuan menyusun tipologi stunting melalui pendekatan anak secara utuh atau "whole child approach". Penelitian itu dilaksanakan pada 2019-2024 di tiga negara yakni India, Indonesia dan Senegal. Untuk Indonesia, penelitian tersebut diselenggarakan di Lombok Timur.
Studi itu terdiri dari dua komponen yakni observasi kohort ibu hamil yang dilanjutkan hingga anak mereka berusia 24 bulan, dan studi intervensi menggunakan telur sebagai makanan tambahan untuk mengetahui efektivitas peningkatan kualitas asupan selama kehamilan terhadap epigenetik dan stunting pada bayi.
Selama periode tersebut, berbagai pengumpulan data dilakukan berdasarkan pendekatan anak secara utuh. Pertama profil asupan dan status gizi, epigenetik, genetik dari anak dan kedua orang tua, serta saluran cerna (komponen fisik). Kedua, perkembangan anak meliputi proses berpikir, kemampuan bahasa dan motorik, kesiapan belajar, serta asuhan psikososial (komponen kognitif).
Ketiga, lingkungan belajar anak usia dini (komponen pendidikan). Keempat, lingkungan pangan termasuk WASH, keamanan pangan dan rantai nilai pangan dari makanan padat gizi (komponen pangan). Pengumpulan data dilakukan di beberapa tahapan pada 1.000 hari pertama kehidupan yakni masa kehamilan, menyusui dan periode makanan pendamping ASI.
Hasil temuan awal studi AASH dari aspek kognisi menunjukkan 53 persen perkembangan anak-anak di Lombok Timur termasuk dalam kategori rata-rata namun belum optimal, karena dipengaruhi berbagai aspek seperti epigenetik, microbiome dan gizi terutama untuk usia satu hingga dua tahun.
"Kami juga meneliti kakak atau saudara kandung anak tersebut yang berusia tiga hingga enam tahun, dan hasilnya juga perkembangannya rata-rata dan belum berkembang dengan baik," kata Ketua Tim Peneliti Komponen Kognitif, Dr Risatianti Kolopaking.
Selain itu, kesehatan mental pada Ibu juga penting untuk diperhatikan, pasalnya hal ini sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak, khususnya pada anak usia dini yang sedang berada di fase prasekolah.
Jika stimulasi pada anak stunting kurang optimal hal ini juga akan berimbas pada perkembangan motorik pada anak-anak, semisal seperti berjalan, berlari, dan juga keseimbangan.
"Padahal ini merupakan aspek yang penting untuk anak berkembang, apalagi nanti pada saat persiapan mereka belajar," kata Risatianti.
Sementara itu, Ketua Tim Peneliti Komponen Pendidikan Dr. Rita Anggorowati mengatakan, pada aspek pendidikan, temuan awal dari studi AASH menunjukkan kualitas lingkungan dan guru PAUD sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Dengan adanya guru berlatar belakang sarjana PAUD maka akan menghasilkan lingkungan pembelajaran yang lebih sehat.
Studi ini tak hanya meneliti guru PAUD di bawah naungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tetapi juga di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Dari temuan awal diketahui bahwa guru yang mengajar di raudhatul athfal (RA) masih kurang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesionalitasnya.
Lebih lanjut, dari segi komponen fisik, Peneliti SEAMEO RECFON dan Ketua Tim Peneliti Komponen Fisik Dr. Min Kyaw Htet mengatakan, selain studi kohort yang dilakukan di tiga negara India, Indonesia, dan Senegal,
"Di Indonesia kami memiliki studi kasus kontrol (The Early Year Study) yang membandingkan anak stunted dan anak yang tidak stunted, dan memberikan kesempatan kepada kami untuk mereplikasi temuan dalam studi kohort. Ini merupakan kekuatan dari desain studi AASH di Indonesia," kata dia.
Studi juga menemukan bahwa selenium memiliki peran penting dalam pertumbuhan anak, tetapi seringkali tidak cukup diperhatikan dalam intervensi gizi. Inflamasi sistemik dan infeksi saluran cerna berdampak pada pertumbuhan anak dengan mengganggu hormon pertumbuhan.
Sementara, epigenetik dapat memprediksi risiko stunting, terutama pada anak perempuan. Selanjutnya, kecepatan pertumbuhan tertinggi anak pada usia 3 bulan (saat ASI eksklusif) dan mulai melambat saat periode pemberian makanan pendamping ASI (ASI) dan mencapai kecepatan paling rendah pada usia14 bulan.
Sedangkan untuk komponen pangan, Dr. Umi Fahmida menambahkan, dari temuan awal lingkungan pangan diketahui responden mengalami kesulitan akut (>70%) dalam komponen informasi dan promosi untuk semua jenis makanan padat gizi yang diteliti (sayuran hijau daun, ayam, ikan).
Berdasarkan kandungan gizi, perlu keragaman sumber protein untuk pemenuhan gizi yang baik, khususnya pada zat gizi yang bermasalah, dan juga perlunya kombinasi protein hewani, contohnya makanan yang memadukan hati, telur dan tahu atau tempe untuk dapat memberikan asupan zat gizi yang lebih lengkap.
"Namun aspek ‘desirability’ pangan padat gizi ini belum optimal dan memerlukan promosi. Promosi pangan sehat selama ini dilakukan tenaga kesehatan, namun dari analisa Agrifood kami menemukan ternyata pedagang sayur secara spontan mengatakan bisa dititipkan untuk promosi pangan sehat," kata Umi.
"Pengolahan pangan padat gizi yang kaya dengan zat besi, kalsium, seng dan folat (disingkat: bekal solat) juga diperlukan, contohnya dibuat abon hati ayam, biskuit ikan teri dan lainnya," jelas Umi lagi.
Terkait keamanan pangan, kontaminasi mikroba pada rantai pangan ditemukan masih tinggi, khususnya pada pedagang eceran.
Sementara itu, untuk tanggapan dari pemangku kepentingan ialah selain diseminasi temuan awal studi AASH, juga dilakukan diskusi kebijakan percepatan penurunan stunting yang dipandu Rektor Universitas YARSI Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D dan sejumlah penanggap diantaranya Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Lovely Daisy MKM, Widyaprada Ahli Utama Direktorat PAUD Ditjen PAUD Dikdasmen Ir. Djajeng Baskoro, M.Pd dan Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan Badan Pangan Nasional, Yusra Egayanti, S.Si., Apt., M.P.
Dr Lovely Daisy menyampaikan bahwa target nasional penurunan angka stunting hingga 14% pada tahun ini menghadapi tantangan besar. Berdasarkan data tahun 2022-2023, angka stunting hampir mencapai 20% di beberapa wilayah, dengan tingkat prevalensi lebih tinggi di beberapa daerah tertentu.
"Intervensi kesehatan telah dilakukan secara lintas sektor untuk mencapai target ini, namun terdapat kendala dalam pemenuhan gizi dan kesehatan ibu serta anak. Intervensi yang telah lakukan mencakup suplementasi dan fortifikasi makanan, termasuk program Multiple Micronutrient Supplementation (MMS) yang kini telah menjadi bagian dari kebijakan nasional," kata Dr. Lovely Daisy.
KEYWORD :Stunting SEAMEO RECFON Hasil Temuan AASH