Sabtu, 15/02/2025 22:29 WIB

Peristiwa Sejarah 15 Februari, Proklamasi PRRI

Peristiwa Sejarah 15 Februari, Proklamasi PRRI: Kala Sumatera Menentang Jakarta. Pemberontakan PRRI dan PERMESTA pada 1958 bukan hanya sebuah gerakan militer semata, tetapi juga cerminan dari ketidakpuasan sosial-politik yang berlangsung di luar Pulau Jawa

Peristiwa Sejarah 15 Februari, Proklamasi PRRI - PRRI diproklamasikan tanggal 15 Februari 1958 dan para menterinya dilantik (Foto: Ensiklopedia Sejarah Indonesia)

Jakarta, Jurnas.com - Pada 15 Februari 1958, sejarah Indonesia mencatat momen penting yang mencerminkan ketegangan antara pemerintahan pusat dan daerah. Gerakan yang dikenal dengan nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), diikuti oleh Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA), bukan hanya sebuah perlawanan politik, tetapi juga sebuah reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil.

Gerakan ini mencerminkan pergolakan besar yang terjadi di luar Pulau Jawa, yang merasa `terpinggirkan` dalam proses pembangunan dan pemerintahan yang berpusat di Jakarta. Dirangkum dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia berikut sejarah pendirian PRRI hingga dampak gerakannya.

Sejak Indonesia merdeka, terdapat ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa yang menimbulkan perasaan ketidakadilan di banyak daerah. Dalam hal ini, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara menjadi pusat gejolak. Masyarakat dan tokoh-tokoh militer serta sipil di Sumatera Tengah, terutama yang tergabung dalam Divisi IX Banteng, mulai mengemukakan tuntutannya untuk otonomi daerah dan desentralisasi.

PRRI berawal dari perasaan ketidakpuasan terhadap kebijakan pusat yang dianggap meminggirkan daerah. Pada tahun 1956, serangkaian pertemuan dan musyawarah dilakukan oleh tokoh-tokoh penting seperti Letnan Kolonel Ahmad Husein, yang menjadi pemimpin gerakan ini. Pada 20 Desember 1956, Husein merebut kekuasaan dari Gubernur Sumatera Tengah, Roeslan Muljohardjo, dan mendeklarasikan Dewan Banteng sebagai simbol perjuangan untuk memperjuangkan hak daerah.

Ketegangan semakin memuncak pada 15 Februari 1958, ketika Ahmad Husein bersama para tokoh PRRI lainnya memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Gerakan ini mengajukan tiga tuntutan utama; Pembubaran Kabinet Djuanda; Pembentukan pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Sultan HB IX; Kembalinya Soekarno pada posisi konstitusionalnya, seperti yang diatur dalam UUDS 1950.

Namun, proklamasi ini disambut dengan keras oleh pemerintah pusat. Presiden Soekarno dan Jenderal A.H. Nasution menganggap PRRI sebagai gerakan separatis yang harus segera ditanggulangi. Pemerintah RI melancarkan operasi militer besar-besaran yang melibatkan Angkatan Darat, Laut, dan Udara, yang dikenal dengan nama Operasi 17 Agustus.

Konflik antara PRRI dan pemerintah pusat berlangsung sengit dan penuh kekerasan. PRRI, yang tidak sepenuhnya siap untuk perang, terpaksa menghadapi serangan militer besar-besaran. Dalam kurun waktu tiga bulan, operasi militer ini berhasil menumpas pusat-pusat perlawanan PRRI di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara.

Namun, konflik ini mengakibatkan 22.174 korban jiwa, dengan ribuan lainnya terluka atau ditawan. Keadaan ini jauh lebih buruk daripada pertempuran melawan Belanda dalam Revolusi Nasional Indonesia. Selain itu, banyak warga sipil yang tidak terlibat dalam PRRI juga menjadi korban kekerasan seperti penyiksaan dan pemerkosaan, memperparah dampak psikologis yang ditimbulkan.

Walau sempat mendapat sinyal dukungan dari pihak asing, terutama Amerika Serikat, PRRI tidak mampu memaksimalkan dukungan tersebut. Internal PRRI sendiri juga terpecah, dengan beberapa tokoh, seperti Mayor Nurmantias dan Kaharuddin Dt. Rangkayo Basa, lebih memilih bekerja sama dengan pemerintah pusat. Bahkan, tidak semua tokoh penting PRRI mendukung proklamasi tersebut.

Keputusan untuk membentuk Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang berbentuk federal pada 1960 justru memperburuk situasi, karena mengarah pada perpecahan di tubuh gerakan PRRI sendiri. Pada akhirnya, PRRI pun terhenti pada 17 Agustus 1961, ketika pemerintah mengeluarkan Kepres No. 449/1961 yang memberikan amnesti kepada semua pihak yang terlibat dalam pemberontakan ini.

PRRI/PERMESTA meninggalkan bekas yang dalam pada masyarakat Indonesia, terutama bagi daerah-daerah yang terlibat. Masyarakat Sumatera Barat dan Sulawesi Utara merasakan dampak psikologis yang mendalam setelah dianggap sebagai pemberontak separatis, meskipun mereka sebelumnya berada di garis depan perjuangan kemerdekaan.

Secara politis, pemberontakan PRRI juga menandai berakhirnya era bagi Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, yang dibubarkan oleh Soekarno. Di sisi lain, pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin kuat, terutama di Sumatera Barat, menggantikan posisi sejumlah tokoh yang sebelumnya mendukung PRRI.

Pemberontakan PRRI dan PERMESTA pada 1958 bukan hanya sebuah gerakan militer semata, tetapi juga cerminan dari ketidakpuasan sosial-politik yang berlangsung di luar Pulau Jawa. Ketegangan antara pusat dan daerah ini menunjukkan bagaimana perbedaan kebijakan dan ketidakadilan dalam pembangunan dapat memicu perlawanan besar. Meskipun gerakan ini akhirnya gagal, PRRI dan PERMESTA tetap menjadi bagian penting dalam memahami dinamika politik dan sejarah Indonesia yang penuh gejolak pasca-kemerdekaan. (*)

KEYWORD :

Peristiwa 15 Februari PRRI PERMESTA Sejarah Indonesia Peristiwa Sejarah




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :