Kamis, 06/03/2025 21:35 WIB

Rekomendasi Peneliti: Pemilu Serentak Dipisah Nasional dan Lokal

Putusan MK Nomor 55 ini juga justru memberikan banyak varian yang itu tetap konstitusional, dan ini adalah salah satu varian yang berada di dalam putusan MK tersebut.

Ilustrasi rapat kerja di DPR RI. (Foto: Dok. Ist)

Jakarta, Jurnas.com - Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Delia Wildianti merekomendasikan pelaksanaan pemilu serentak di Indonesia dapat dipisahkan menjadi pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

Rekomendasi tersebut disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).

"Kami mempertimbangkan rekomendasi untuk mempertimbangkan solusi alternatif desain keserentakan pemilu dengan mengacu pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, yakni model keserentakan pemilu yang memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal," kata Delia.

Dia menjelaskan, pemisahan tersebut mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 terkait desain pemilihan umum serentak di Indonesia.

"Putusan MK Nomor 55 ini juga justru memberikan banyak varian yang itu tetap konstitusional, dan ini adalah salah satu varian yang berada di dalam putusan MK tersebut," ujar Delia.

Dia menjelaskan, pemilu serentak nasional terdiri atas pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI. Sedangkan pemilu serentak lokal terdiri atas pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Menurut Delia, pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dapat mencapai tujuan yang diharapkan dari esensi penyelenggaraan pemilu secara serentak.

"Ini juga untuk memperkuat sistem presidensial kita di tingkat nasional dan daerah," katanya.

Pada awal rapat, Delia memaparkan bahwa keserentakan pada Pemilu 2024 membawa kekurangan bagi jalannya pelaksanaan pileg karena fokus utama lebih ditujukan pada pilpres.

"Karena calon tidak hanya berkampanye untuk mereka sendiri, tetapi juga harus mengampanyekan calon presiden. Jadi, ketika bukan bagian dari partai yang berkuasa akan semakin sulit," paparnya.

Di sisi lain, dia juga mengatakan bahwa pemilu serentak justru meningkatkan praktik pembelian suara (vote buying) dan politik uang (money politics).

"Money politics atau biaya politik di Indonesia sangat mahal, pemilu menjadi sangat barbar dan itu dirasakan bukan hanya oleh kami yang melihat, tetapi peserta pemilu justru turut merasakan bagaimana barbarnya, tingginya biaya politik untuk mencalonkan diri. Sebagai caleg kabupaten/kota saja misalnya, Rp5 miliar atau bahkan lebih," tandasnya.

 

 

 

 

KEYWORD :

Warta DPR Komisi II Delia Wildianti pemilu serentak nasional lokal




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :