
Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanulhaq
Jakarta, Jurnas.com - Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanulhaq, menegaskan bahwa pesantren di Indonesia telah lama berdiri dengan prinsip kemandirian, jauh sebelum negara terbentuk.
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema "Mengawal Komitmen Kementerian Agama dalam Penerapan Kebijakan Pesantren Ramah Anak" yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/3).
Menurut Maman, meski pesantren mampu bertahan secara mandiri, kehadiran negara tetap dibutuhkan dalam hal pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan. Hal ini yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
"Pesantren lahir dari kemandirian, apakah negara bantu atau tidak, pesantren tetap ada. Namun, perlu ada afirmasi, yaitu pengakuan dari negara terhadap eksistensinya. Sayangnya, banyak pesantren yang nyata ada justru kurang mendapat perhatian, sementara ada `pesantren jajadian` yang menerima bantuan meski hanya ada di atas kertas," ujar Maman.
Legislator dari Fraksi PKB itu juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap alokasi dana bagi pesantren. Ia mengungkap adanya oknum yang memanfaatkan sistem bantuan pendidikan dengan mendirikan pesantren fiktif demi memperoleh dana pemerintah.
"Persoalannya, ada yang namanya pesantren, dapat bantuan BOS, tetapi realitanya tidak ada. Ini perlu pengawasan ketat agar dana tidak disalahgunakan," tegasnya.
Selain itu, Maman menekankan pentingnya legalitas pesantren dalam sistem pendidikan nasional. Ia mencontohkan bagaimana Pondok Pesantren Gontor yang diakui secara internasional, namun sempat kurang mendapat pengakuan dalam sistem pendidikan nasional.
"Pendidikan nasional kita harus mengakomodasi keberagaman sistem pendidikan, termasuk pesantren yang memiliki karakteristik unik," katanya.
Terkait isu kekerasan di pesantren, Maman menilai bahwa kasus tersebut merupakan fenomena kecil yang kerap dibesar-besarkan oleh media sosial. Ia menyebut dari 39.551 pesantren yang ada, kasus kekerasan seksual hanya terjadi dalam persentase yang sangat kecil.
"Mohon maaf, media sosial sering menggiring opini seolah pesantren menjadi tempat yang tidak aman, padahal faktanya kasus yang terjadi di pesantren sangat minim dibanding lembaga pendidikan lainnya," jelasnya.
Lebih lanjut, Maman mengapresiasi upaya pemerintah dalam menciptakan kebijakan pesantren ramah anak. Namun, ia menyoroti respons pemerintah yang cenderung reaktif, bukan sistematis, dalam menangani permasalahan di pesantren.
"Pemerintah cenderung bereaksi setelah ada kasus mencuat. Seharusnya ada sistem perlindungan yang lebih proaktif, bukan sekadar merespons ketika ada masalah," ungkapnya.
Sebagai penutup, Maman menekankan bahwa pesantren harus tetap menjadi subkultur pendidikan yang terbuka, transparan, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan nilai-nilai tradisionalnya.
Acara diskusi ini turut dihadiri oleh anggota DPR RI lainnya, seperti Habib Syarief Muhammad, Selly Andriany Gantina, dan Andreas Hugo Pareira, serta sejumlah jurnalis parlemen.
KEYWORD :Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq Legislator PKB Kemandirian Pesantren Ramah Anak