
Peristiwa Tanjung Morawa, Konflik Agraria Berdarah dan Jatuhnya Kabinet Wilopo (Foto: Kompas)
Jakarta, Jurnas.com - Pada 16 Maret 1953, sebuah tragedi atau konflik berdarah yang dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Morawa mengguncang Sumatera Utara, Indonesia, tepatnya di Desa Perdamaian, Tanjung Morawa. Insiden ini bukan hanya meninggalkan jejak sejarah kelam di Indonesia, tetapi juga menciptakan ketegangan politik yang berdampak pada jatuhnya kabinet Wilopo pada pemerintahan Soekarno waktu itu.
Konflik yang dimulai dari sengketa tanah ini melibatkan berbagai faktor, mulai dari ketegangan agraria hingga peran politik yang melibatkan Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Berikut ulasannnya yang dikutip dari berbagai sumber.
Latar Belakang Sengketa Tanah Peristiwa Tanjung Morawa
Mengutip laman Ensklopedia Sejarah Indonesia, Universitas Indonesia,Wikipedia, Idsejarah, CNN, dan Kompas, sengketa tanah di Tanjung Morawa berakar sejak masa penjajahan Belanda. Pada waktu itu, tanah perkebunan tembakau di daerah tersebut dikelola oleh perusahaan Belanda, Deli Planters Vereniging (DPV). Setelah Indonesia merdeka dan disepakatinya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), pemerintah Indonesia diminta untuk mengembalikan tanah perkebunan tersebut kepada investor asing.
Tanah seluas 255.000 hektar yang dikuasai DPV menjadi titik api dalam permasalahan ini, dengan sebagian besar tanah tersebut telah digarap oleh petani pribumi dan keturunan Tionghoa sejak masa penjajahan Jepang.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini kabinet Wilopo, berusaha mengimplementasikan kesepakatan tersebut dengan merelokasi penggarap tanah itu. Namun, usaha tersebut tidak berjalan mulus karena adanya penolakan dari beberapa kelompok, termasuk BTI yang disebut berafiliasi dengan PKI. Kelompok ini mengorganisir perlawanan terhadap penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemerintah, yang memuncak pada peristiwa tragis ini.
Puncaknya, pada 16 Maret 1953, situasi memanas. Pemerintah memutuskan untuk menggusur tanah bekas perkebunan tembakau yang sudah ditempati oleh para penggarap ilegal menggunakan traktor.
Tindakan ini disertai dengan pengawalan ketat dari aparat kepolisian dan Brigade Mobil (Brimob). Namun, BTI yang mengorganisir massa dari berbagai daerah, melancarkan perlawanan yang brutal.
Aksi demonstrasi berubah menjadi bentrokan sengit antara massa dengan aparat keamanan. Meskipun polisi sempat memberikan tembakan peringatan, massa yang sudah terprovokasi tidak menghiraukannya dan malah berusaha merebut senjata para petugas.
Dalam suasana kacau tersebut, peristiwa berdarah terjadi dengan sejumlah korban jiwa dan luka-luka. Setidaknya 21 orang jatuh korban, dengan 6 di antaranya meninggal dunia.
Peristiwa Tanjung Morawa pun tidak hanya berdampak pada aspek sosial, tetapi juga mengguncang politik Indonesia. Bentrokan ini memicu reaksi keras dari parlemen. Sidik Kertapati, tokoh dari Sarekat Tani Indonesia (SAKTI), melancarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet Wilopo. Keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diduga sebagai provokator semakin memperburuk ketegangan politik di Indonesia.
Pada 2 Juni 1953, akibat tekanan politik yang semakin besar, Perdana Menteri Wilopo terpaksa mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Peristiwa Tanjung Morawa, meskipun berawal dari sengketa agraria, turut menjadi pemicu jatuhnya kabinet Wilopo dan menjadi salah satu momen penting dalam sejarah politik Indonesia pada masa Demokrasi Liberal.
Warisan Peristiwa Tanjung Morawa
Peristiwa ini menjadi simbol ketegangan antara pemerintah dan rakyat dalam menghadapi masalah agraria. Selain itu, peran organisasi-organisasi politik seperti PKI dan BTI dalam memobilisasi massa menunjukkan betapa besar pengaruh ideologi dalam konflik-konflik sosial pada masa itu. Peristiwa Tanjung Morawa juga mencerminkan bagaimana sengketa tanah yang sudah berlangsung sejak masa kolonial bisa berkembang menjadi isu politik yang membahayakan kestabilan pemerintahan.
Di sisi lain, peristiwa ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dalam mengelola sengketa agraria yang melibatkan banyak pihak. Bukan hanya terkait masalah hak tanah, tetapi juga bagaimana menangani perbedaan ideologi dan kepentingan sosial yang saling berbenturan. (*)
KEYWORD :Peristiwa Tanjung Morawa Konflik Agraria Peristiwa 16 Maret Sejarah Indonesia