
Guru Besar Hukum Pidana UKI Prof DR Mompang (Foto: Ist)
Jakarta, Jurnas.com - Guru Besar Hukum Pidana UKI Prof DR Mompang, menilai polemik oknum Tenaga Pendamping Profesional (TPP) atau pendamping desa yang tidak mundur saat menjadi Calon Anggota Legislatif pada Pemilu tahun 2024 dapat dilihat dari perspektif hukum tata negara serta dari aspek hukum pidana.
Mompang memaparkan, apabila seseorang peroleh penghasilan atau gaji dari uang negara secara melawan hukum formil, maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana korupsi, karena memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurutnya, hal tersebut tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV Tahun 2006, Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana.
"Oleh sebab itu, jika TPP yang bersangkutan masih menerima gaji dan honor tapi tidak mengundurkan diri saat Pencalonan dulu secara hukum, sepantasnya TPP yang bersangkutan mengembalikan gaji atau honor yang telanjur diterima terhitung sejak Ia resmi menjadi calon anggota tetap," kata Mompang melalui keterangan tertulis diterima di Jakarta, Minggu (16/3).
Sebab jika tidak, Ia dapat dikatakan telah menikmati bertambahnya kekayaan akibat diterimanya gaji atau honor tersebut dalam perspektif UU Tipikor dengan gugurnya status, hak dan kewenangannya sejak yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon tetap.
Di sisi lain, lanjut Mompang, TPP yang bersangkutan tidak dapat dilanjutkan kontraknya jika terbukti melanggar ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf k UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebab seharusnya Ia mengundurkan diri sebagai caleg sebagaimana perintah Pasal 240 (1) huruf k UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Tenaga Pendamping Profesional Pendamping Desa Hukum Pidana UU Pemilu