Selasa, 18/03/2025 00:39 WIB

PB PMII: RUU TNI Ancam Demokrasi dan Supremasi Sipil

Menurut PB PMII, lanjutnya, proses pembahasan yang tidak transparan serta isi RUU yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI dalam pemerintahan sipil merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.

Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) melalui Bidang Keamanan dan Wilayah Perbatasan, Syahrul Bahri (Foto: PB PMII)

Jakarta, Jurnas.com - Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) melalui Bidang Keamanan dan Wilayah Perbatasan, Syahrul Bahri, menyatakan penolakan tegas terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah dibahas secara tertutup oleh Komisi I DPR RI dan pemerintah.

Menurut PB PMII, lanjutnya, proses pembahasan yang tidak transparan serta isi RUU yang berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI dalam pemerintahan sipil merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia.

"Kami menolak keras proses pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara tertutup di hotel mewah, jauh dari pengawasan publik, dan terkesan terburu-buru. RUU ini tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga membuka jalan bagi TNI untuk kembali mengambil peran sipil yang seharusnya sudah diakhiri sejak reformasi 1998," ujar Syahrul Bahri melalui keterangan tertulis diterima Jurnas.com di Jakarta, Senin (17/3).

Syahrul menyoroti bahwa revisi UU TNI yang menambah jumlah lembaga sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif dari 10 menjadi 16 sangat berpotensi mengaburkan batas antara militer dan sipil. Penambahan kewenangan ini, menurutnya, merupakan langkah mundur bagi demokrasi yang telah diperjuangkan setelah reformasi, terutama terkait pemisahan yang jelas antara tugas militer dan sipil.

“RUU ini secara substansi mengancam kembalinya dwifungsi TNI, yang telah kita tolak pada 1998. Reformasi telah menetapkan bahwa TNI adalah alat negara yang bertugas mempertahankan kedaulatan, bukan terlibat dalam pemerintahan sipil. Menambah jabatan sipil yang bisa diduduki prajurit aktif akan menciptakan tumpang tindih kewenangan dan merusak sistem pemerintahan yang demokratis,” kata dia.

Selain itu, PB PMII juga menyoroti bahwa salah satu poin dalam RUU TNI adalah penambahan tugas non-perang untuk prajurit, seperti penanganan masalah narkotika dan siber. Meski TNI dinyatakan tidak akan ikut dalam penegakan hukum terkait narkotika, PB PMII menilai keterlibatan TNI dalam ranah yang bukan bidangnya tetap berpotensi mengganggu supremasi sipil.

“Masalah narkotika dan siber seharusnya tetap menjadi kewenangan lembaga-lembaga sipil yang sudah ada, seperti BNN dan BSSN. TNI seharusnya fokus pada tugas pertahanan negara,” tambahnya.

Di sisi lain Syahrul juga mengkritik terburu-burunya pembahasan RUU ini, yang direncanakan selesai sebelum masa sidang berakhir pada 21 Maret 2025.

"Tidak ada urgensi untuk mempercepat pembahasan ini, apalagi Indonesia tidak sedang dalam kondisi darurat yang mengharuskan revisi UU ini disegerakan. Tindakan tergesa-gesa seperti ini hanya akan melahirkan kebijakan yang tidak matang dan cenderung melanggar prinsip-prinsip demokrasi," katanya.

Lebih lanjut, Syahrul menekankan bahwa daripada memperluas fungsi TNI di jabatan publik atau sipil, seharusnya pemerintah dan DPR lebih fokus pada modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) serta meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI demi mewujudkan profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.

PB PMII mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut mengawasi dan mendesak penghentian sementara pembahasan RUU ini. "Kami mengajak semua pihak untuk bersama-sama mendesak agar revisi ini dibahas ulang secara transparan dengan melibatkan publik dan pihak-pihak yang kompeten, sehingga demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia tetap terjaga," pungkasnya.

KEYWORD :

PB PMII Revisi UU TNI DPR RI RUU TNI




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :