Jum'at, 21/03/2025 14:21 WIB

IPW Minta Prabowo Evaluasi Jampidsus Kejagung

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santosomeminta Presiden Prabowo Subianto mengevaluasi kinerja Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Febrie Adriansyah

Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso (Foto: Jurnas/Ira)

Jakarta, Jurnas.com - Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menilai adanya serangkaian dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung), Febrie Adriansyah dalam penyidikan kasus-kasus besar korupsi, seperti Pertamina.

Penyalahgunaan wewenang Jampidsus tersebut, menurutnya, berpotensi merusak upaya pemberantasan korupsi yang ingin digencarkan dan diperkuat oleh Presiden Prabowo Subianto. Karena itu, Sugeng meminta Presiden Prabowo agar mengevaluasi kinerja Jampidsus.

”Niat mulia Presiden Prabowo yang ingin menyejahterakan rakyat dengan mendorong kuat pemberantasan korupsi, dan penguatan integritas aparatur pemerintah sulit tercapai, apabila penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan pada Jampidsus dibiarkan terus berlanjut,” ujar Sugeng, dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis (20/3).

Lebih lanjut, Sugeng menilai, Jampidsus dapat dikualifikasi karena telah mengumumkan tersangka dengan kerugian negara bernilai fantastis, tanpa metodologi ilmiah. Bahkan ia menuding Langkah itu hanya untuk kepentingan membangun sensasi dan popularitas.

”Faktanya, terus terjadi praktik ’memberantas korupsi sembari korupsi’. Setidaknya dalam penanganan kasus korupsi Jiwasraya, suap Ronald Tannur dengan terdakwa Zarof Ricar, korupsi Pertamina Rp 193,7 triliun, penyalahgunaan kewenangan tata niaga batubara di Kalimantan Timur senilai Rp 10 triliun, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ujar Sugeng.

Sugeng menyoroti penanganan kasus korupsi Pertamina, yang melibatkan tuduhan pengoplosan dan mark-up kontrak pengiriman minyak. Menurutnya, tuduhan tersebut dibangun atas dasar asumsi atau menduga-duga, yang kemudian menciptakan kebingunan publik.

Ia menekankan bahwa penggunaan istilah "pengoplosan" yang keliru yang akhirnya diralat menjadi "blending", telah menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat. Hal tersebut, menurutnya tidak hanya merugikan citra Pertamina, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar, termasuk penurunan pendapatan perusahaan plat merah itu.

“Informasi yang tidak akurat ini menyebabkan konsumen kehilangan kepercayaan dan beralih ke SPBU asing. Pendapatan Pertamina melorot hingga mencapai 20 persen. Ini adalah contoh nyata, bagaimana hoaks dan unprofessional oleh Kejaksaan Agung dapat merugikan perusahaan nasional dan perekonomian negara. Persangkaan blending sebagai korupsi merupakan maladministrasi,” kata Sugeng.

Sugeng menambahkan, jaksa penyidik telah membangun konstruksi hanya dengan menduga-duga telah terjadi kemahalan harga sebesar 13 hingga 15 persen, dan telah memperkaya diri tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa, yang ternyata pembuktiannya semata-mata hanya berlandaskan adanya komunikasi WhatsApp tersangka Dimas Werhaspati dengan tersangka Agus Purwomo, selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

”Persangkaan jaksa bahwa negara mengeluarkan fee sebesar 13 s.d. 15 persen secara melawan hukum, Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku beneficial owner PT Navigator Katulistiwa mendapatkan keuntungan adalah persangkaan palsu, sebagaimana yang dimaksud pasal 318 KUHP,” kata Sugeng.

Menurut Sugeng, tuduhan pengoplosan atau mark-up pengiriman minyak yang diarahkan kepada para tersangka, tidak ada kaitannya dengan kerugian negara yang disebutkan mencapai sekitar Rp 193,7 triliun. Dengan kata lain, menurutnya hal itu tidak nyambung antara petitum dengan posita.

Jika hal itu dibiarkan, lanjutnya, maka dapat melahirkan Peradilan Sesat (Rechterlijke Dwaling) dan cenderung dapat menciptakan keputusan hakim yang tidak adil dan melanggar hak asasi manusia (HAM) sipil dan politik. Secara universal, dapat dikualifisir sebagai rangkaian penegakan hukum yang dapat digunakan untuk menuntut seseorang atas perbuatan yang tidak dilakukannya (conviction and punishment of a person for a crime he did non commit). 

”Fakta ini yang membuat penyidikan kasus korupsi Pertamina ini dicurigai sebagai bukan murni untuk penegakan hukum. Melainkan, memiliki tujuan-tujuan tertentu di luar hukum,” pungkas Sugeng.

KEYWORD :

Indonesia Police Watch IPW Presiden Prabowo Subianto Jampidsus Kejagung




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :