
Ilustrasi Belanda ultimatum perang ke Aceh (Foto: Info Aceh)
Jakarta, Jurnas.com - Hari ini 152 tahun lalu, tepatnya Pada 26 Maret 1873, sebuah ultimatum perang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda kepada Kerajaan Aceh, yang menjadi klimaks dari ketegangan panjang yang melibatkan dua kekuatan besar ini. Peristiwa ini menandai dimulainya salah satu perang paling sengit dan panjang dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia—Perang Aceh.
Ultimatum tersebut bukan hanya sebuah langkah militer, tetapi juga gambaran dari ambisi kolonial Belanda yang semakin berkembang. Dikutip dari Serambinews, sejak awal abad ke-19, Belanda berusaha keras untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara, namun Aceh, yang terletak di ujung utara Pulau Sumatera, tetap menjadi salah satu kerajaan yang paling sulit dijinakkan.
Meskipun sudah ada beberapa perjanjian, seperti Traktat London 1824 dan perjanjian persahabatan 1857 antara Belanda dan Aceh, hubungan ini tetap tegang. Belanda semakin merasa bahwa keberadaan Aceh sebagai negara berdaulat menghalangi ekspansi mereka di wilayah yang sangat strategis itu, terutama setelah terusan Suez dibuka pada 1869, yang membuka jalur perdagangan langsung antara Eropa dan dunia Arab.
Di balik keputusan Belanda untuk melancarkan perang terhadap Aceh, terdapat sejumlah faktor yang memperburuk ketegangan. Setelah Belanda memprovokasi Inggris untuk membatalkan perjanjian Raffles 1819 yang menguntungkan Aceh, lahirlah Perjanjian Sumatera 1871.
Dalam perjanjian ini, Inggris memberi izin kepada Belanda untuk memperluas pengaruhnya di Sumatera, termasuk menyerang Aceh. Dengan dukungan Inggris, Belanda merasa lebih percaya diri untuk mengambil langkah lebih agresif.
Pada awal tahun 1873, kapal perang Belanda mulai mendekati perairan Aceh, membawa pesan ultimatum dari pihak Belanda yang disampaikan oleh juru runding, ER Krayenhoff. Pesan itu meminta Sultan Aceh untuk menyerah tanpa syarat, menyerahkan wilayahnya, serta menghentikan segala bentuk aktivitas yang dianggap merugikan kepentingan Belanda, seperti pelayaran ilegal di Selat Malaka.
Isi Ultimatum dan Reaksi Aceh
Ultimatum yang disampaikan pada 26 Maret 1873 berisi beberapa tuntutan yang sangat berat, di antaranya ialah Aceh harus menyerah tanpa syarat kepada Belanda. Kemudian, turunkan bendera Aceh dan kibarkan bendera Belanda.
Tuntutan ketiga, hentikan semua tindakan perompakan (lanun) di Selat Malaka. Kemudian tuntutan penyerahan wilayah Sumatera yang berada di bawah perlindungan Aceh kepada Belanda. Serta permintaan pemutusan hubungan diplomatik dengan Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki.
Pernyataan perang ini jelas melanggar prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam Traktat London 1824 dan perjanjian sebelumnya antara Belanda dan Aceh. Dengan keputusan ini, Belanda bukan hanya mengabaikan perjanjian internasional, tetapi juga menunjukkan sikap agresif terhadap kedaulatan Aceh yang telah lama mempertahankan kemerdekaannya.
Sultan Aceh, Alaiddin Mahmud Syah, menanggapi ultimatum ini dengan tegas, menolak untuk menyerah. Dikutip dari Info Aceh, dalam salah satu surat balasannya, Sultan menyatakan bahwa Aceh tidak akan tunduk kepada kekuasaan asing. Sikap ini mencerminkan semangat juang rakyat Aceh yang tidak ingin menyerahkan kemerdekaannya.
Ketika diplomasi gagal, Belanda memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer. Pada 6 April 1873, pasukan Belanda yang terdiri dari sekitar 3.000 serdadu, dipimpin oleh Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler, mendarat di Ulee Lheue, Aceh. Namun, pasukan Belanda mengalami perlawanan sengit dari pasukan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Mahmud Syah. Dalam serangan pertama, Jenderal Köhler tewas, yang mengejutkan banyak pihak dan mengubah gambaran perang yang sebelumnya dianggap Belanda sebagai sesuatu yang mudah.
Perang Aceh: Sebuah Perjalanan Panjang dan Menyakitkan
Perang Aceh yang berlangsung selama hampir tujuh dekade ini menjadi simbol perjuangan melawan kolonialisme yang tak kenal lelah. Meskipun Belanda akhirnya berhasil menguasai sebagian wilayah Aceh, perjuangan sengit dari rakyat Aceh menelan banyak korban di kedua belah pihak. Lebih dari 100.000 nyawa melayang, dan perang ini menguras sumber daya besar dari pihak Belanda.
Tidak hanya itu, konflik ini juga membawa dampak besar terhadap ekonomi Belanda. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa perang ini memperburuk kondisi ekonomi Hindia Belanda dan mengancam stabilitas politik yang ada. Kekalahan dalam perang ini, baik secara moral maupun ekonomi, memberi pelajaran penting tentang biaya perang kolonial yang sangat tinggi. (*)
KEYWORD :Hindia Belanda Ultimatum Perang Aceh Kerajaan Aceh