
Ketupat (Wikipedia)
Jakarta, Jurnas.com - Umat Islam di Indonesia akan segera menyambut Lebaran Idul fitri 1446 H, dimana ditetapkan akan jatuh pada Senin 31 Maret 2025. Pada momen Idul Fitri, salah satu tradisi masyarakat Indonesia adalah berkumpul dengan keluarga besar sembari menghidangkan makanan tradisi lebaran.
Ketupat menjadi salah satu hidangan lebaran yang tak pernah dihindari saat momen tersebut. Ketupat identik dengan Lebaran karena merupakan salah satu makanan khas yang sering disajikan saat perayaan Idul Fitri. Biasanya, tidak lengkap rasanya perayaan Lebaran tanpa ketupat.
Ketupat bukan sembarang makanan, tetapi juga simbol budaya yang telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Pada masa itu, ketupat digunakan sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewi Sri, sang dewi pertanian dan kesuburan. Menurut sejarawan Belanda, Hermanus Johannes de Graaf, ketupat pertama kali muncul di Tanah Jawa pada abad ke-15, tepatnya pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Lebaran Ketupat Tidak Bertentangan dengan Islam
Pada saat itu, Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, menggunakan ketupat sebagai salah satu metode dakwah untuk menyebarkan agama Islam di Jawa. Menariknya, ketupat dipilih karena sangat dekat dengan budaya masyarakat Jawa yang sudah ada sebelumnya. Bahkan, Sunan Kalijaga mengenalkan tradisi "Lebaran Kupat" yang dirayakan sekitar satu minggu setelah Idul Fitri, atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Grebeg Syawal".
Sebagai bagian dari tradisi Lebaran, ternyata ketupat tidak hanya menjadi hidangan lezat, namun juga memiliki filosofi yang mendalam. Menurut Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), KH Jadul Maula, ketupat dalam bahasa Jawa disebut `kupat`, yang merupakan akronim dari `ngaku lepat`, yang berarti mengakui kesalahan atau dosa. Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, filosofi ini mengajarkan umat Islam untuk memohon ampun dan saling memaafkan satu sama lain di hari yang suci tersebut.
Bentuk ketupat yang persegi empat juga membawa makna simbolis yang sangat kuat. Angka empat dalam budaya Jawa bukan hanya berkaitan dengan arah mata angin (Utara, Selatan, Barat, dan Timur), namun juga menyiratkan nilai-nilai penting dalam kehidupan spiritual.
Selain itu, `empat` bisa merujuk pada empat mazhab besar dalam Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta empat tokoh khulafaur rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Lebih jauh lagi, angka empat juga merujuk pada empat punakawan dalam wayang Jawa—Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong—yang mewakili nilai-nilai kebijaksanaan dan pengendalian diri.
KH Jadul Maula juga menjelaskan bahwa ketupat mengandung filosofi terkait pengendalian nafsu manusia. Dalam tradisi Grebeg Syawal di Jawa, terdapat gunungan yang melambangkan pohon dan empat binatang, yaitu harimau, banteng, kera, dan burung merak.
Setiap binatang ini mewakili nafsu dalam diri manusia yang harus dikendalikan. Harimau melambangkan nafsu amarah yang harus diarahkan menjadi keberanian. Banteng menggambarkan nafsu terhadap kenikmatan dunia, seperti harta dan kesenangan, yang harus dijaga agar tidak merusak.
Adapun kera mewakili nafsu dasar, seperti makan dan minum, yang perlu dikendalikan agar tidak berlebihan. Sedangkan burung merak melambangkan nafsu ketenangan, yang meski penting, harus tetap seimbang dan tidak berlebihan.
Filosofi ini mengingatkan umat Islam untuk terus menjaga keseimbangan dalam hidup, untuk mengendalikan dan mengarahkan setiap nafsu agar tidak merusak kedamaian dan kebahagiaan. Maka dari itu, ketupat lebih dari sekadar makanan, tetapi sebuah simbol pengendalian diri, pembersihan hati, dan pengakuan atas kesalahan serta dosa.
Nah, itu dia sejarah panjang awal-mula penggunaan kata `ketupat` yang sering kita temukan dalam sajian khas lebaran. Semoga informasi ini menambah pengetahuan bagi Anda.
KEYWORD :Ketupat Lebaran ketupat Alasan ketupat selalu ada saat lebaran