
Ketupat (Foto: antisantikuman.com)
Bandung, Jurnas.com - Saat merayakan Idul Fitri, tidak lengkap rasanya jika tidak ada ketupat di meja makan. Bagi banyak orang, mungkin ketupat hanya dikenal sebagai hidangan khas Lebaran yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa muda.
Namun, dalam budaya Jawa, ketupat memiliki makna yang lebih dari sekadar makanan. Kata "ketupat" ternyata sebuah akronim dalam bahasa Jawa, yaitu "ngaku lepat".
“Ngaku lepat” berarti mengakui kesalahan atau meminta maaf. Hal ini sangat relevan dengan tradisi Idul Fitri, di mana umat Islam saling memaafkan setelah menjalani puasa sebulan penuh saat bulan Ramadan.
Ketupat, dengan bentuknya yang unik dan filosofi yang terkandung di dalamnya, mengingatkan kita untuk selalu introspeksi diri dan mengakui kesalahan sebelum merayakan kemenangan.
Selain menjadi akronim, ketupat juga memiliki filosofi mendalam yang terkait dengan angka empat. Bentuk ketupat yang persegi empat simbolis dengan empat arah mata angin—Utara, Barat, Selatan, dan Timur—yang menggambarkan keseimbangan dalam kehidupan.
Angka empat juga merujuk pada empat mazhab dalam Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), serta empat sahabat utama Nabi Muhammad SAW—Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali—yang memimpin dengan penuh hikmah.
Dengan demikian, ketupat tidak hanya menjadi hidangan, tetapi juga simbol pengingat tentang pentingnya kesadaran diri, pengendalian nafsu, serta kebersihan hati, yang sangat relevan dengan semangat Lebaran.
Meskipun ketupat telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan diperkenalkan lebih lanjut oleh Sunan Kalijaga pada abad ke-15, filosofi yang terkandung di dalamnya tetap relevan hingga kini.
Setiap kali ketupat dibuat, disajikan hingga dicicipi, umat Islam di Indonesia diingatkan untuk saling memaafkan dan memperkuat persaudaraan. Selain itu, ketupat juga menjadi simbol pembaharuan diri yang sarat tradisi spiritual di momen Idul Fitri. (*)
Sumber: NU Online
KEYWORD :Ketupat Singkatan ketupat Arti ketupat Lebaran