Rabu, 02/04/2025 18:41 WIB

Awal Mula Pemberian THR di Indonesia dan Besaran Nominalnya

Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan tradisi unik yang hanya ada di Indonesia, tradisi yang menghubungkan budaya kerja dengan perayaan hari raya keagamaan, seperti Idul Fitri

Ilustrasi Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia (Foto: RRI)

Jakarta, Jurnas.com - Tunjangan Hari Raya (THR) merupakan tradisi unik yang hanya ada di Indonesia, tradisi yang menghubungkan budaya kerja dengan perayaan hari raya keagamaan. Tidak seperti bonus tahunan atau tunjangan libur yang umum diberikan di banyak negara, THR di Indonesia merupakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh perusahaan menjelang hari raya besar, seperti Idulfitri dan Natal.

Awal mula pemberian THR dimulai pada tahun 1951, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pada waktu itu, pemerintah yang dipimpin oleh Kabinet Soekiman Wirjosandjojo berupaya meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang kala itu dikenal sebagai "Pamong Pradja."

Program ini bertujuan memberikan tunjangan menjelang hari raya dalam bentuk pinjaman awal gaji atau yang disebut "persekot." Pinjaman ini nantinya akan dipotong secara bertahap dari gaji PNS pada bulan-bulan berikutnya.

Jumlah tunjangan yang diberikan saat itu berkisar antara Rp125 hingga Rp200, yang jika dihitung dengan nilai saat ini setara dengan sekitar Rp1,1 juta hingga Rp1,75 juta. Selain uang tunai, PNS juga menerima beras sebagai bagian dari tunjangan tersebut. Pada masa itu, THR hanya diberikan kepada PNS untuk mendukung kesejahteraan aparatur negara.

Namun, kebijakan ini tidak berlangsung tanpa kontroversi. Buruh swasta yang merasa tidak adil akhirnya menuntut hak yang setara. Mereka, yang juga bekerja keras, merasa berhak mendapatkan tunjangan hari raya yang sama dengan PNS. Pada 1952, berbagai serikat buruh, termasuk Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), menggelar aksi mogok kerja untuk menuntut hak tersebut.

Pemerintah akhirnya merespons tuntutan buruh dengan mengeluarkan Surat Edaran pada 1954 yang mendorong perusahaan swasta untuk memberikan "Hadiah Lebaran" kepada buruh. Meski surat edaran ini bersifat sukarela dan tidak mengikat perusahaan, hal ini menjadi langkah awal untuk memperkenalkan pemberian tunjangan hari raya kepada buruh swasta. Surat Edaran tersebut berlaku hingga 1958, meskipun tidak ada kewajiban hukum yang jelas bagi perusahaan untuk memberikan THR.

Pada tahun 1961, pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih tegas, mewajibkan perusahaan memberikan "Hadiah Lebaran" kepada buruh yang telah bekerja minimal tiga bulan. Peraturan ini terus berkembang, dan pada era Orde Baru istilah "Hadiah Lebaran" diganti dengan "Tunjangan Hari Raya" (THR).

Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 1994, ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04/MEN/1994 yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal tiga bulan. Dalam peraturan tersebut juga diatur sanksi bagi perusahaan yang melanggar kewajiban ini.

Sebagai informasi, besaran THR yang diterima pekerja umumnya setara dengan gaji satu bulan, namun untuk pekerja yang baru bekerja kurang dari satu tahun, THR diberikan secara proporsional sesuai masa kerjanya. Meskipun nominalnya bisa bervariasi antar perusahaan, THR menjadi tunjangan yang sangat dinantikan karena tidak hanya berupa tambahan penghasilan, tetapi juga simbol solidaritas sosial dan kebersamaan.

Kini, pemberian THR tidak hanya menjadi kewajiban hukum, tetapi juga bagian penting dalam hubungan kerja yang mencerminkan rasa terima kasih dan penghargaan perusahaan terhadap kontribusi pekerja. Tradisi ini terus berlangsung hingga sekarang, memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia, terutama saat menjelang hari raya terutama Idul Fitri.

Sumber: Portal Informasi Indonesia

KEYWORD :

THR Idul FItri Tunjangan Hari Raya




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :