
Ilustrasi sedang halalbihalal (Foto: Pexels/Irwan zahuri)
Jakarta, Jurnas.com - Halalbihalal merupakan tradisi khas yang sangat akrab di kalangan umat Muslim di Indonesia, terutama saat momen Hari Raya Idulfitri atau memasuki bulan Syawal dalam kalender Hijriah. Kegiatan ini tak hanya menjadi ajang saling bermaafan, tetapi juga berfungsi sebagai sarana mempererat hubungan sosial, baik antar keluarga, teman, maupun komunitas.
Meskipun terdengar seperti istilah Arab, Halalbihalal sebenarnya adalah warisan budaya Indonesia yang kaya makna dan sejarah. Apa sebenarnya yang membuat tradisi ini begitu istimewa? Bagaimana asal-usulnya? Apa maknanya? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
Makna dan Sejarah Halalbihalal
Istilah Halalbihalal berasal dari kata "halal" yang berarti "diperbolehkan" dalam bahasa Arab, dan "bi" yang berarti "dengan". Namun, meskipun menggunakan kata yang identik dengan bahasa Arab, tradisi ini sepenuhnya merupakan ciptaan masyarakat Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Halalbihalal diartikan sebagai tradisi saling bermaafan setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan, yang biasanya dilakukan dalam suatu pertemuan besar seperti di aula atau gedung, melibatkan sekelompok orang.
Asal Usul Halalbihalal
Menurut laman resmi Kemenko PMK RI, halalbihalal memiliki beberapa versi asal-usul yang menarik. Salah satunya berasal dari pedagang martabak asal India di Solo sekitar tahun 1935-1936.
Saat itu, pedagang martabak yang menjual dagangannya dengan slogan "martabak Malabar, halal bin halal" tanpa disadari membuat istilah ini populer di kalangan masyarakat Solo. Istilah ini kemudian berkembang menjadi bentuk kegiatan silaturahmi yang dilakukan umat Muslim selama Idul Fitri, dikenal dengan sebutan Halalbihalal.
Versi lainnya menyebutkan bahwa istilah Halalbihalal pertama kali diperkenalkan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. KH Wahab, seorang ulama dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), mengusulkan Halalbihalal sebagai cara bagi tokoh politik yang sebelumnya terlibat dalam konflik untuk berdamai dan membangun persatuan pasca-kemerdekaan. Pada saat itu, Presiden Soekarno mengundang tokoh politik untuk mengadakan pertemuan di Istana Negara yang diberi nama Halalbihalal, yang kemudian menjadi tradisi yang diterima luas oleh masyarakat Indonesia.
Tradisi Halalbihalal di Indonesia
Halalbihalal tidak hanya terbatas pada pertemuan formal antar pejabat atau tokoh, namun juga meluas ke keluarga, tetangga, hingga lembaga-lembaga sosial. Bahkan, seiring waktu, acara Halalbihalal berkembang menjadi ajang open house, di mana keluarga atau instansi mengundang orang lain untuk datang bersilaturahmi dan saling memaafkan. Biasanya, setelah salat Idul Fitri, kegiatan ini menjadi momen bagi masyarakat untuk menjalin kembali hubungan yang sempat renggang, serta memperbarui rasa kebersamaan dan persaudaraan.
Menariknya, tradisi yang kita kenal saat ini sudah ada sejak zaman pemerintahan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa). Pada masa itu, usai salat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan di balai istana antara raja dan para punggawa untuk saling memaafkan, yang dikenal dengan tradisi sungkem. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa ini kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam di Jawa dengan sebutan Halalbihalal. Dengan cara ini, Halalbihalal tidak hanya berkembang di kalangan elit, tetapi meresap ke dalam tradisi masyarakat umum.
Makna Spiritual dan Sosial Halalbihalal
Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama, meskipun sering dipandang sebagai kegiatan sosial yang menyenangkan, Halalbihalal sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam. Dari sisi spiritual, acara ini mengajarkan tentang pentingnya saling memaafkan dan memperbaiki hubungan yang rusak. Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Qur’an, Halalbihalal bukan hanya soal mengucapkan maaf, tetapi juga menyambung hubungan yang terputus, meluruskan kesalahan, dan mewujudkan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam tinjauan fiqih, tradisi ini melambangkan kebersihan hati setelah menjalani ibadah puasa Ramadan. Para ulama berpendapat bahwa dengan saling memaafkan dalam Halalbihalal, umat Muslim dapat terbebas dari dosa, dan memperoleh kedamaian serta ketenangan batin. Sementara itu, dari segi kebahasaan, makna halal dapat dipahami sebagai tindakan untuk "meluruskan yang kusut" dan "menjernihkan" hubungan antar individu.
Dengan demikian, halalbihalal lebih dari sekadar ritual keagamaan; ia adalah sebuah simbol persatuan dan kesatuan bangsa. Melalui tradisi ini, masyarakat diajak untuk merenungkan kembali nilai-nilai kebersamaan, perdamaian, dan persaudaraan.
Lebih jauh lagi, Halalbihalal juga mencerminkan semangat gotong royong yang telah menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Di luar aspek keagamaan, acara ini juga menjadi ajang sosial yang mempererat jaringan pertemanan, sekaligus memperkenalkan budaya saling menghormati dan berempati antar sesama. (*)
KEYWORD :Halalbihalal Tradisi Muslim Indonesia Bulan Syawal