
Ilustrasi - Mengenang 210 Tahun Letusan Maha Dahsyat Gunung Tambora yang Mengubah Dunia (Foto: Penimba Ilmu)
Jakarta, Jurnas.com - Pada April 1815, dunia menyaksikan salah satu peristiwa alam terbesar dalam sejarah yang tak hanya mengguncang Indonesia, tetapi juga seluruh dunia. Letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), yang puncak letusan eksplosif nya terjadi pada 10 April 1815, mencatatkan diri sebagai salah satu ledakan vulkanik paling dahsyat dalam sejarah umat manusia.
Dengan kekuatan yang mencapai 10 kali lebih besar dari letusan Krakatau 1883, letusan Tambora tidak hanya menghancurkan kehidupan di sekitar pulau, tetapi juga memengaruhi iklim global yang menyebabkan fenomena yang dikenal sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas" (The Year Without a Summer) pada 1816. Lantas bagaimana kronologinya dan pengaruhnya terhadap dunia? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
Kronologi Letusan Gunung Tambora
Gunung Tambora, yang sebelum letusan dikenal sebagai gunung berapi "tidur", terletak di pulau Sumbawa, bagian dari kepulauan Indonesia. Setelah berabad-abad tidak aktif, gunung ini mulai menunjukkan tanda-tanda keganasan pada tahun 1812, ketika kalderanya mulai mengeluarkan suara gemuruh. Pada April 1815, letusan besar pun dimulai. Namun, puncak dari letusan yang luar biasa ini terjadi pada 10 April 1815, yang menurut penelitian oleh Oppenheimer (2003), dampak letusan ini menghasilkan gelombang kehancuran yang tidak hanya meratakan desa-desa di sekitar gunung, tetapi juga mengubah dunia, khususnya terkait pola cuaca.
Dikutip dari laman BPBD Kabupaten Bogor, letusan Tambora menghasilkan sekitar 100 km³ material vulkanik, termasuk abu, gas, dan batuan cair. Ledakan yang begitu besar, dengan kekuatan yang setara dengan 800 megaton TNT, terdengar hingga lebih dari 2.600 km, menjangkau wilayah di Sumatra, Sulawesi, bahkan hingga Batavia (sekarang Jakarta). Suara letusan tersebut bahkan menyebabkan Sir Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengirimkan pasukan untuk menyelidiki asal usul suara tersebut.
Dampak Global Letusan Gunung Tambora
Selain kehancuran lokal yang sangat besar, letusan Gunung Tambora memicu perubahan iklim global yang drastis. Volume abu yang tersebar hingga ke stratosfer memengaruhi cuaca di seluruh dunia, menyebabkan penurunan suhu global hingga 0,4-0,7 °C. Fenomena ini dikenal dengan nama "Tahun Tanpa Musim Panas" (1816), yang menyebabkan kegagalan panen di banyak bagian dunia, terutama di Belahan Utara. Di Amerika Utara dan Eropa, musim panas yang seharusnya hangat berubah menjadi dingin ekstrem, dengan salju turun di beberapa wilayah yang tidak pernah mengalaminya pada bulan Juni. Perubahan ini tercatat dalam berbagai studi ilmiah, termasuk yang dilakukan oleh Guthrie & Li (2007).
Kondisi yang tidak biasa ini membuat pertanian gagal total di banyak wilayah, khususnya di Eropa dan Amerika. Di Inggris dan Eropa Tengah, harga pangan melonjak tajam akibat gagal panen, yang berujung pada kelaparan besar-besaran. Ketegangan sosial meningkat, dengan demonstrasi dan kerusuhan yang melanda beberapa kota besar, termasuk di Jerman dan Irlandia, di mana harga gandum dan kentang melambung tinggi.
Akibat letusan ini, lebih dari 80.000 orang dilaporkan tewas, baik langsung karena aliran piroklastik, tsunami, atau akibat penyakit dan kelaparan yang melanda daerah-daerah yang terkena dampak. Pulau Sumbawa, yang paling dekat dengan gunung, kehilangan hampir seluruh penduduknya, dengan ribuan orang meninggal karena penyakit yang menyebar akibat kontaminasi air dan makanan yang terpapar abu vulkanik. Tsunami besar juga melanda pantai-pantai di sekitar pulau, menyebabkan lebih banyak korban jiwa.
Namun, dampak sosial dan ekonomi dari letusan ini tidak berhenti di situ. Beberapa wilayah di Indonesia, termasuk Lombok dan Bali, juga merasakan dampak jangka panjang berupa kelaparan dan wabah penyakit yang menyebar luas.
Letusan Tambora tidak hanya memengaruhi iklim sementara, tetapi juga menciptakan jejak sejarah yang tak terlupakan. Di Eropa, fenomena "kabut" yang disebabkan oleh aerosol sulfur yang dikeluarkan dari letusan mempengaruhi cuaca sepanjang tahun 1816. Di Amerika Serikat, musim panas yang seharusnya hangat berubah menjadi musim dingin yang mematikan, dengan salju turun di bulan Juni dan pertanian gagal panen di banyak daerah.
Suhu global yang lebih rendah menyebabkan kondisi yang sangat dingin di belahan bumi utara, memengaruhi pertumbuhan tanaman dan kehidupan sehari-hari. Di New England, Amerika Serikat, bahkan dilaporkan salju setebal 30 cm turun pada Juni 1816, sementara suhu beku melanda Kanada, mengancam ketahanan pangan global.
Letusan Gunung Tambora tahun 1815 adalah salah satu peristiwa yang tidak hanya memengaruhi dunia pada masanya, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang dampak aktivitas vulkanik terhadap iklim global. Sampai hari ini, peristiwa ini menjadi salah satu catatan alam yang menunjukkan bagaimana perubahan iklim dapat terjadi secara tiba-tiba, dengan dampak yang sangat luas.
Selain itu, letusan Tambora juga membawa dampak jangka panjang dalam sejarah. Salah satu yang paling signifikan adalah perubahan besar dalam sejarah sastra dunia. Dampak "Tahun Tanpa Musim Panas" memengaruhi banyak penulis, termasuk Mary Shelley, yang menulis Frankenstein pada musim panas yang sangat dingin tersebut. Begitu juga dengan penulis lainnya yang terinspirasi oleh kondisi ekstrem yang mereka alami. (*)
KEYWORD :Letusan Gunung Tambora Bencana Alam Peristiwa Sejarah 10 April