Senin, 14/04/2025 18:12 WIB

Kenapa Disebut Gunung Gede? Ini Asal Usul, Mitos hingga Mistisnya

Kenapa Disebut Gunung Gede? Ini Asal Usul, Mitos hingga Mistisnya

Gambar Gunung Gede (Foto: Gedepangrango.org)

Jakarta, Jurnas.com - Gunung Gede, yang secara administratif mencakup wilayah Kabupaten Cianjur hingga Sukabumi, Jawa Barat, tak sekadar gugusan alam tinggi yang menantang fisik dan hasrat mendaki, tapi juga rumah dari kisah-kisah gaib, mitos leluhur, hingga misteri kerajaan lama yang masih dan terus hidup.

Nama Gunung Gede, jika ditinjau dari segi bahasa, ia berasal dari bahasa Sunda. Kata “gede” berarti besar—sebuah penamaan yang tidak hanya menggambarkan dimensi fisiknya, tetapi juga kekuatan simboliknya dalam lanskap budaya dan spiritual masyarakat lokal.

Dengan ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut, Gunung Gede memang menjadi salah satu titik tertinggi di wilayah Jawa Barat. Sosoknya yang menjulang menjadikannya landmark yang tak tergantikan, dan karena itu pula, ia disebut sebagai Hulu Wano Na Pakuan dalam naskah kuno Bujangga Manik, atau tempat tertinggi di wilayah Pakuan Pajajaran.

Sementara itu, di antara lembah berumput yang sejuk dan hamparan padang savana yang luas serta megah di kaki Gunung Gede, terdapat satu kawasan yang tidak hanya terkenal karena keindahannya, tetapi juga kisah sakral yang menyelimutinya. Alun-Alun Suryakencana, menjadi salah satu titik favorit para pendaki, sekaligus pusat dari cerita-cerita gaib yang diwariskan turun-temurun. Bagaimana kisahnya? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.

Alun-Alun Suryakencana dipercaya sebagai tempat bermukimnya Pangeran Suryakencana, keturunan Prabu Siliwangi yang dikenal memiliki garis darah gaib dari kerajaan makhluk halus. Bahkan, hingga hari ini, banyak pendaki yang mengaku mendengar suara derap kaki kuda saat malam mulai menyelimuti. Apakah itu jejak astral dari sang pangeran dan pasukannya?

Di sisi lain, Gunung Gede tak bisa dipisahkan dari sejarah Sunda kuno. Dalam Naskah Bujangga Manik, gunung ini disebut sebagai Hulu Wano Na Pakuan, atau tempat tertinggi di wilayah Pakuan Pajajaran. Di sinilah, konon, Prabu Siliwangi bersembunyi usai kerajaannya diserang oleh Kesultanan Islam.

Situs kuno di sekitar Alun-Alun Suryakencana, serta petilasan di kawasan hutan dan air terjun Cibereum, menjadi pengingat bahwa tempat ini bukan sekadar bentang alam biasa—ia adalah panggung bisu dari babak sejarah yang belum sepenuhnya terkuak.

Masyarakat sekitar meyakini bahwa Gunung Gede dijaga oleh roh-roh leluhur seperti Eyang Jayakusuma, serta dua penjaga batu besar di Cibodas: Mbah Kadok dan Eyang Jayarahmatan. Menariknya, dua batu itu konon tak bisa dihancurkan bahkan oleh alat modern.

Tak jauh dari sana, di dekat Curug Cibereum, terdapat batu petilasan Eyang Haji Mintarsa, seorang pertapa sakti yang dipercaya berubah menjadi batu karena kekuatan tapa brata-nya. Pendaki bisa menyaksikannya langsung—jika berani.

Gunung Gede bukan hanya saksi sejarah spiritual, tetapi juga sumber dari kekuatan geologi dahsyat. Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan situs magma.esdm.go.id, sejak letusan pertama pada 1747, gunung ini tercatat telah meletus 27 kali, dengan puncak aktivitas pada tahun 1840, saat kolom asap terlihat hingga Bogor dan Batavia. Letusan disertai lava pijar, suara gemuruh, dan hujan abu yang mengguncang warga dari tidur pukul 03.00 dini hari.

Rangkaian letusan dan dua gempa besar di tahun 1834 dan 1844 menyebabkan kerusakan berat di Cianjur dan Bogor. Bahkan, karena dampak bencana ini, ibukota Keresidenan Priangan dipindahkan ke Bandung pada tahun 1864.

Sejarah Gunung Gede terbentuk dari lempeng Eurasia dan lempeng Oceanik. Sejak letusan terakhir di tahun 1957, gunung yang masuk dalam taman nasional yang dilindungi oleh pemerintah Jawa Barat ini, telah "tertidur" sekitar 68 tahun. Berdasarkan catatan PVMBG, interval istirahat aktivitasnya bisa mencapai 71 tahun.

Kembali ke sosok-sosok tak kasat mata di jalur pendakian Gunung Gede. Mendaki gunung ini, para pendaki tak hanya diuji stamina, tapi juga mental. Banyak cerita tentang makhluk gaib yang menampakkan diri. Beberapa yang paling legendaris di antaranya ialah Aul, si kepala dua – Sosok menyeramkan yang berjalan sempoyongan dan bisa menyamar menjadi penduduk lokal untuk menyesatkan pendaki.

Kemudian, ada monster berbulu hitam – makhluk seperti genderuwo dengan mata merah menyala dan kuku tajam. Ia dikatakan sensitif terhadap perempuan yang sedang haid. Ada pula makhluk berbaju putih – figur astral yang disebut-sebut sebagai penjaga gaib jalur pendakian. Tak sedikit yang mengaku melihat sosok ini berdiri diam memandangi mereka di tengah kabut.

Mendaki Gunung Gede bukan hanya perjalanan menuju puncak 2.958 mdpl, tapi juga perjalanan spiritual dan refleksi atas sejarah yang terpendam. Mitos dan misteri yang menyelimuti gunung ini bukan sekadar cerita menakut-nakuti, melainkan bentuk penghormatan terhadap alam, leluhur, dan keseimbangan dunia yang kasat mata dan tidak.

Bagi siapa pun yang ingin mendaki atau menjelajah Gunung Gede, penting untuk menyadari bahwa tempat ini lebih dari sekadar destinasi wisata. Ia adalah ruang sakral, ekosistem hidup, dan warisan sejarah.

Pastikan untuk selalu memperbarui informasi resmi dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) atau otoritas terkait sebelum mendaki. Cek status jalur, cuaca, dan potensi aktivitas vulkanik.

Jaga kelestarian alam, bawa turun kembali sampahmu, dan hindari merusak flora maupun situs-situs sakral. Karena mendaki bukan sekadar mencapai puncak—tapi tentang menghormati setiap inci tanah yang kita injak, termasuk cerita-cerita lama yang kita dengar. (*)

KEYWORD :

Gunung Gede Pangrango Mitos Gunung Gede Misteri Surkena Sejarah Gunung Gede




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :