
Illustrasi, kegiatan perdagangan internasional (ekspor-impor). (Foto istimewa)
Jakarta, Jurnas.com - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin berpendapat situasi ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda dengan era krisis moneter pada 1998.
Pernyataan itu merespons spekulasi publik mengenai pelemahan rupiah dan pasar saham akibat kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) oleh Presiden Donald Trump.
“Kalau kita mengandaikan yang akan terjadi ke depan adalah skenario krisis 1998, ada banyak perbedaan,” kata Wijayanto dalam diskusi bertajuk Trump Trade War: Menyelamatkan Pasar Modal, Menyehatkan Ekonomi Indonesia, di Jakarta, Jumat (11/4/2025).
Perbedaan pertama terkait sumber masalah. Dia menjelaskan masalah kali ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal, alih-alih internal.
Persoalan itu berlanjut ke perbedaan berikutnya, dengan problem kali ini berasal dari kebijakan AS yang berdampak kepada seluruh dunia. Bila pada 1998 masyarakat memiliki pilihan untuk menyelamatkan diri ke negara lain, kali ini negara-negara lainnya mengalami kondisi yang serupa.
Perbedaan selanjutnya yaitu kondisi politik dalam negeri yang dianggap relatif lebih baik dibandingkan dengan akhir pemerintahan Presiden Soeharto.
Sektor keuangan dan perbankan saat ini pun masih dalam kondisi yang cukup solid.
Wijayanto juga menilai krisis kali ini juga berbeda dengan pandemi COVID-19. Saat itu, insentif ekonomi kurang efektif akibat keterbatasan orang untuk saling bertemu.
Sementara, krisis yang mungkin terjadi, menurut Wijayanto, yaitu krisis subprime mortgage atau kredit macet perumahan, di mana ekonomi masih tumbuh namun dengan pertumbuhan yang cenderung lambat.
Dia menyarankan pemerintah untuk segera mengambil langkah kebijakan yang mengarah pada perbaikan ekonomi, yakni dengan mengkalibrasi program-program besar pemerintah yang penting untuk dilakukan.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia mempersiapkan sejumlah paket negosiasi yang akan dibawa ke perundingan untuk menghadapi kebijakan tarif timbal balik atau resiprokal AS di Washington DC.
Pada 2 April lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif ke banyak negara.
Indonesia berada pada urutan kedelapan di daftar negara-negara yang terkena kenaikan tarif AS, dengan besaran 32 persen.
Pada Rabu (10/4/2025), Trump mengumumkan penundaan kebijakan tarif impor hingga 90 hari ke berbagai mitra dagang, kecuali untuk China sebesar 125 persen.
Negara yang rencananya akan dikenakan tarif resiprokal lebih tinggi, hanya dikenakan tarif dasar sebesar 10 persen, untuk baja, aluminium, dan mobil akan sama.
Namun memasuki Kamis (11/4/2025), Trump merevisi tarif impor ke China menjadi 145 persen, yang merupakan batas bawah atau masih berpotensi meningkat ke depan.
KEYWORD :Krisis Ekonomi Wijayanto Samirin