
Presiden RI Prabowo Subianto. (Foto: Net)
Jakarta, Jurnas.com - Wacana Presiden Prabowo Subianto yang ingin mengevakuasi warga Palestina dinilai keputusan yang akan membahayakan diplomasi Indonesia ke depan. Niat baik dari pemerintah bahkan dikhawatirkan menjadi langkah ceroboh yang mengabaikan masalah dalam negeri.
Demikian disampaikan pengamat hukum dan politik Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH., dalam catatan analisisnya. Menurutnya, pemerintah lebih bijak membenahi `rumah sendiri` sebelum menjadi pahlawan bagi dunia selama 1 dari 10 orang Indonesia masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.
"Solidaritas yang tak terukur bisa menjadi pengkhianatan terhadap mandat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat sendiri," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu, 12 April 2025.
Mantan Ketua Komisi III DPR RI ini juga menilai bila gagasan Presiden Prabowo itu memantik sejumlah pertanyaan kritis sekalipun terlihat mulia di permukaan. Dia bahkan mempertanyakan seberapa realistis rencana tersebut dan bagaimana implikasi strategisnya bagi Indonesia.
Apalagi, Presiden Prabowo menyampaikan wacana utu dengan semangat kemanusiaan dan mengutip amanat konstitusi bahwa Indonesia harus aktif dalam menciptakan ketertiban dunia.
"Namun, niat baik saja tidak cukup. Realitas geopolitik Gaza jauh dari sederhana," ucapnya.
Pieter Zulkifli mengingatkan bila wilayah Gaza dikepung ketat oleh Israel, baik dari sisi darat, laut, maupun udara, dengan kontrol perbatasan yang sebagian besar berada di tangan Mesir dan Israel. Tanpa koordinasi dan kesepakatan diplomatik yang matang, maka evakuasi semacam itu sulit diwujudkan, bahkan terkesan utopis.
"Pertanyaannya, apakah Indonesia telah menjalin negosiasi konkret dengan otoritas terkait, terutama Mesir dan Israel? Jika tidak, gagasan ini berisiko jatuh ke dalam ranah retorika belaka. Bahkan negara-negara Arab sekalipun yang memiliki kedekatan budaya dan historis dengan Palestina, tidak serta merta bersedia menerima pengungsi Gaza," katanya.
Tak hanya itu, Pieter Zulkifli menyatakan bila respons masyarakat terkait wacana ini terbelah. Ada yang mengapresiasi semangat solidaritas yang ditunjukkan Prabowo, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan urgensi, relevansi, dan motif politik di baliknya.
Dia mencontohkan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menolak secara tegas rencana rersebut. Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, Sudarnoto Abdul Hakim, menyebut bahwa relokasi massal warga Gaza justru dapat menjadi bentuk pengusiran halus dan membuka celah bagi Israel untuk menguasai sepenuhnya wilayah Gaza yang ditinggalkan penduduknya.
"Dalam perspektif ini, relokasi bukan lagi bentuk solidaritas, melainkan berpotensi menjadi bagian dari strategi pemutihan wilayah oleh kekuatan pendudukan sebuah praktik yang dalam hukum internasional bisa dikategorikan sebagai genosida," katanya.
Dalam konteks kemanusiaan global, kata Pieter Zulkifli, gagasan tersebut memang terdengar mulia. Namun, jika ditelusuri lebih jauh banyak aspek yang luput dari pertimbangan matang, baik secara diplomatik, legal, sosial, maupun politik domestik.
Dia mengatakan pertama-tama gagasan ini patut diuji dari sisi konstitusional dan legal. Sebab, Indonesia bukanlah negara yang memiliki tradisi menerima pengungsi secara massal dari zona perang luar negeri, apalagi dalam skala ribuan orang.
"Hingga kini, pengelolaan pengungsi di Indonesia masih bersifat terbatas, lebih sebagai negara transit, bukan negara tujuan. Sistem hukum dan administrasi imigrasi Indonesia belum disiapkan untuk menampung eksodus pengungsi secara besar-besaran dan permanen," kata dia.
Pieter Zulkifli melanjutkan untuk kedua dalam dimensi geopolitik, evakuasi warga Gaza ke Indonesia dapat menimbulkan implikasi serius. Palestina dengan segala kerumitan sejarah dan politiknya bukan sekadar isu kemanusiaan.
Palestina disebutnya konflik multidimensional dengan pertaruhan kekuasaan global. Ketika Indonesia menawarkan diri sebagai negara penerima warga Gaza, maka posisi diplomatik Indonesia akan berubah drastis.
"Alih-alih menjadi juru damai netral, Indonesia dapat dianggap condong ke satu sisi dalam konflik yang sangat sensitif secara geopolitik," katanya.
Dia mengatakan Indonesia selama ini dikenal sebagai pendukung kuat kemerdekaan Palestina di berbagai forum internasional, namun tetap menjaga posisi hati-hati dan tidak turut campur dalam urusan teritorial.
Sehingga, langkah evakuasi bisa menabrak prinsip non-intervensi dan memicu ketegangan baru, baik di kawasan Timur Tengah maupun dalam hubungan bilateral Indonesia dengan negara-negara besar.
Ketiga, kata dia, yang paling penting ialah gagasan evakuasi itu perlu ditakar dengan jujur dalam konteks domestik. Misalnya, sejauh mana negara Indonesia telah berhasil menyejahterakan rakyatnya sendiri.
"Ketika angka kemiskinan, ketimpangan sosial, dan akses layanan publik di berbagai daerah masih menjadi persoalan nyata, mengimpor masalah kemanusiaan dari luar negeri tentu menimbulkan pertanyaan besar. Apakah negara telah begitu surplus dalam kapasitas anggaran, logistik, dan sistem sosial sehingga merasa mampu menampung beban tambahan? Gagasan ini juga dapat menimbulkan resistensi sosial dalam negeri. Bayangkan jika ribuan warga Gaza tiba dan ditempatkan di daerah-daerah tertentu," ucapnya.
Pieter Zulkifli menuturkan sentimen identitas, stigma terhadap pendatang, dan potensi konflik horizontal bisa muncul sewaktu-waktu. Dia mengingatkan kembali bagaimana respons masyarakat terhadap pengungsi Rohingya yang mendarat di Aceh beberapa tahun lalu.
"Solidaritas warga memang menyentuh, namun di sisi lain, ada juga suara-suara penolakan karena kekhawatiran terhadap beban sosial dan ekonomi yang ditimbulkan," katanya.
Dia juga menyinggung soal dimensi politis yang tak bisa diabaikan dari gagasan tersebut. Kendati demikian, Pieter Zulkifli menyatakan Presiden Prabowo adalah seorang politisi ulung yang memahami pentingnya narasi besar dalam membangun legitimasi.
Dia mengamini di tengah transisi kekuasaan dan sorotan publik terhadap konfigurasi kabinet barunya, isu Palestina dapat menjadi panggung simbolik untuk menegaskan posisi moral dan memperkuat citra pemimpin berjiwa humanis di mata dunia. Namun, jika tidak disertai kesiapan struktural dan dukungan masyarakat luas, niat baik itu bisa menjadi bumerang.
Di sisi lain, Pieter Zulkifli tak menampik kemanusiaan memang tak mengenal batas negara. Namun, kebijakan luar negeri tidak dapat dibangun semata atas dasar simpati dan moralitas.
"Ia menuntut ketelitian, rasionalitas, serta kesiapan institusional. Jika Prabowo benar-benar ingin menunjukkan komitmen pada rakyat Palestina, jalur yang lebih strategis adalah memperkuat diplomasi internasional, meningkatkan dukungan kemanusiaan konkret, seperti bantuan medis, logistik, dan pembangunan infrastruktur, serta menjadi pelopor gencatan senjata dan rekonsiliasi damai melalui forum-forum multilateral," katanya.
Pieter Zulkifli menuturkan menjadi pemimpin yang peduli terhadap penderitaan sesama manusia adalah nilai luhur yang patut diapresiasi. Tetapi, menjadi pemimpin yang bijak dan cermat dalam menakar kapasitas serta risiko adalah kualitas kenegarawanan yang sejati.
"Jangan sampai, dalam semangat menolong yang lain, kita justru mengabaikan tugas besar menyejahterakan rakyat sendiri yang masih menanti evakuasi dari kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan di negeri ini," tegasnya.
KEYWORD :Presiden Prabowo Subianto Catatan Kritis untuk Prabowo Membantu Gaza Melupakan Rumah Sendiri