
Ilustrasi Sejarah 14 April, Indonesia Memulai Perundingan Roem-Royen dengan Belanda (Foto: Munasprok)
Jakarta, Jurnas.com - Hari ini 76 tahun silam, tepatnya pada tanggal 14 April 1949, salah satu babak krusial dalam sejarah perjuangan diplomasi Indonesia dimulai, yakni Perundingan Roem-Royen. Digelar di Hotel Des Indes, Jakarta, perundingan ini menjadi tonggak penting dalam membuka jalan menuju pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh dunia, terutama oleh Belanda.
Lantas, apa itu Perundingan Roem-Royen? Kenapa harus ada perundingan tersebut? Apa yang melatarbelakanginya? Bagaimana sejarahnya? Bagaimana proses perundingan tersebut berlangsung? Bagaimana dampaknya? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
Mengutip laman resmi Museum Perumusan Naskah Proklamasi atau munasprok.go.id, Perundingan Roem-Royen adalah proses negosiasi antara delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem dan delegasi Belanda di bawah pimpinan Dr. J.H. van Roijen, dengan difasilitasi oleh Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI) dan dipimpin oleh diplomat Amerika, Merle Cochran.
Pertemuan ini berlangsung dari 14 April hingga 7 Mei 1949, dan menjadi upaya serius dalam mengakhiri konflik pasca Agresi Militer Belanda II, sekaligus menyiapkan landasan bagi Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Mengutip laman Gramedia, perundingan tersebut dilatarbelakangi oleh keinginan Belanda untuk merubut kembali kendali atas Indonesia. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda tidak tinggal diam. Untuk kembali mengambil alih Indonesia, Belanda berkolaborasi dengan Sekutu dan membawa serta administrasi sipil kolonial lama (NICA).
Berbagai perundingan sebelumnya seperti Linggarjati (1946) dan Renville (1948) gagal mencapai perdamaian yang langgeng. Belanda justru melancarkan dua agresi militer besar-besaran—terakhir, pada 19 Desember 1948, yang menyebabkan Yogyakarta jatuh dan para pemimpin Republik termasuk Soekarno dan Hatta ditawan.
Namun, Indonesia tidak menyerah. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), pada waktu itu, dibentuk di Sumatera Barat di bawah Sjafruddin Prawiranegara, dan perlawanan rakyat terus berlangsung—terutama melalui Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang membuktikan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia.
Alhasil, menyikapi hal itu dunia internasional, termasuk Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, akhirnya memaksa Indonesia dan Belanda untuk duduk kembali di meja perundingan. Inilah yang melahirkan Perundingan Roem-Royen, di mana nasib diplomasi Indonesia dipertaruhkan.
Menariknya, untuk memperkuat posisi tawar, selain mengirim tokoh-tokoh penting seperti Ali Sastroamidjojo, Supomo, A.K. Pringgodigdo, Ir. Juanda, Johannes Leimena di perundingan tersebut, Indonesia menghadirkan Mohammad Hatta dari pengasingan di Bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Sang Sultan dengan tegas menyatakan, "Jogjakarta is de Republiek Indonesië" – Yogyakarta adalah Republik Indonesia.
Perundingan tersebut pun berlangsung selama hampir satu bulan, dalam suasana yang sangat tegang dan dinamis. Namun akhirnya, pada 7 Mei 1949, tercapailah kesepakatan. Pihak Indonesia menyatakan akan menghentikan perang gerilya, berpartisipasi dalam Konferensi Meja Bundar, serta menjalin kerja sama dalam menciptakan keamanan bersama.
Di sisi lain, Belanda menyetujui pengembalian pemerintahan Republik ke Yogyakarta, membebaskan para pemimpin yang ditawan, dan mengakui Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat. Kedua belah pihak juga menyepakati pelaksanaan Konferensi Meja Bundar di Den Haag dalam waktu dekat.
Satu bulan setelah perundingan, tepat pada 24 Juni 1949, pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta. Pasukan Belanda mulai ditarik mundur dari kota tersebut pada 1 Juli, dan Presiden Soekarno serta Mohammad Hatta tiba kembali di tanah Jawa pada 6 Juli 1949. Gencatan senjata resmi diberlakukan di Jawa dan Sumatera pada awal Agustus, sebagai persiapan menuju KMB.
Dengan demikian, Perundingan Roem-Royen membuka jalan bagi Indonesia menuju Konferensi Meja Bundar (KMB), yang pada akhirnya menghasilkan pengakuan kedaulatan penuh terhadap Republik Indonesia pada 27 Desember 1949. Meski masalah Papua masih menjadi sengketa, hasil Roem-Royen telah membawa perubahan besar dalam arah perjuangan bangsa, dari medan tempur ke jalur negosiasi internasional.
Peristiwa ini membuktikan bahwa kekuatan diplomasi, jika dijalankan dengan cerdas dan terarah, bisa menjadi senjata yang tak kalah ampuh dari perlawanan bersenjata. Roem-Royen adalah simbol keteguhan Indonesia mempertahankan kemerdekaannya tanpa kehilangan martabat, meski berada dalam tekanan politik dan militer yang besas, termasuk dunia internasional.
Perundingan ini bukan sekadar kesepakatan di atas kertas, tetapi manifestasi dari semangat nasionalisme, kecakapan diplomasi, dan keberanian para tokoh bangsa dalam menavigasi jalan sulit menuju pengakuan dunia. Pada 14 April ini, kita diingatkan kembali bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah, melainkan hasil dari perjuangan panjang di medan perang dan di meja perundingan. (*)
KEYWORD :Peristiwa 14 April Sejarah Indonesia Peristiwa Sejarah Perundingan Roem-Royen