
Ilustrasi 70 tahun Konferensi Asia Afrika, Semangat Bandung untuk dunia (Foto: Museum)
Jakarta, Jurnas.com - Hari ini, 70 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 18 April 1955, Indonesia menjadi tuan rumah salah satu jamuan diplomatik paling bersejarah dalam abad ke-20, yakni Konferensi Asia Afrika (KAA).
Konferensi yang digelar di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat ini menandai lahirnya solidaritas dan kerja sama antarbangsa di kawasan Asia dan Afrika yang kala itu tengah berjuang membebaskan diri dari penjajahan dan ketidakadilan global.
Lalu, bagaimana sejarah dan latar belakang pembentukan Konferensi Asia-Afrika? Bagaimana dampaknya pada tatanan global? Semangat Bandung masih menyala? Berikut ini adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
KAA, atau kadang disebut juga sebagai Konferensi Bandung, berakar dari semangat dunia pasca-Perang Dunia II yang terpecah ke dalam dua kutub besar, yakni Blok Barat yang kapitalis dan Blok Timur yang komunis. Di tengah pertarungan ideologi ini, negara-negara di Asia dan Afrika menjadi arena perebutan pengaruh. Banyak dari negara tersebut masih menghadapi konflik internal maupun penjajahan berkepanjangan.
Indonesia, bersama India, Pakistan, Sri Lanka, dan Birma (Myanmar), menjadi pelopor lahirnya KAA sebagai wadah untuk memperkuat posisi negara-negara yang tidak ingin terjebak dalam pertarungan ideologi tersebut. Gagasan ini pertama kali dicetuskan dalam Konferensi Colombo (1954), lalu diperdalam dalam Konferensi Bogor sebelum akhirnya diwujudkan pada 18–24 April 1955 di Bandung.
Pimpinan MPR Bersama Menkopolhukam dan Delegasi Konferensi Internasional Lakukan History Walk
Sebanyak 29 negara hadir dalam KAA pertama, mewakili lebih dari 1,5 miliar penduduk dunia, atau sekitar 54% populasi global saat itu. Mereka datang bukan hanya untuk menjalin relasi, tetapi juga untuk menyuarakan penolakan terhadap kolonialisme dan neokolonialisme, serta memperkuat kerja sama ekonomi, politik, dan kebudayaan di antara negara berkembang.
Bandung dipilih sebagai tuan rumah karena iklimnya yang sejuk dan reputasinya sebagai kota pendidikan serta simbol perjuangan. Presiden Soekarno secara resmi membuka konferensi, sementara Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo bertindak sebagai ketua konferensi. Kehadiran tokoh-tokoh penting seperti Zhou Enlai (Tiongkok) turut mempertegas posisi strategis KAA dalam peta politik global.
Salah satu warisan paling monumental dari konferensi ini adalah Dasasila Bandung—sepuluh prinsip yang menegaskan komitmen negara-negara Asia-Afrika untuk menjunjung perdamaian dunia, menghormati kedaulatan dan integritas negara lain, menolak segala bentuk agresi dan dominasi asing. Kemudian, mendorong penyelesaian konflik secara damai serta menegaskan hak setiap bangsa menentukan nasibnya sendiri.
Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi fondasi penting dalam pembentukan Gerakan Non-Blok (GNB) pada 1961, meskipun jalur keduanya sempat berjalan paralel dan bahkan bersinggungan.
Meski berlangsung 70 tahun lalu, semangat KAA tetap relevan hingga hari ini. Dunia kini dihadapkan pada tantangan baru seperti ketimpangan ekonomi global, perubahan iklim, konflik bersenjata, dan dominasi kekuatan besar dalam geopolitik internasional. KAA mengajarkan bahwa negara-negara berkembang dapat mengambil peran aktif dalam membentuk tatanan dunia yang lebih adil dan seimbang.
Mengutip Antara, dampak KAA pada waktu itu cukup membawa dampak nyata. Selain menjadi landasan bagi pembentukan BNB, KAA juga menginspirasi banyak negara di Afrika untuk mempercepat perjuangan kemerdekaan mereka. Tak heran, anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meningkat dari 76 negara pada 1955 menjadi 144 negara pada akhir 1975.
Namun, tujuh dekade setelah KAA, dunia tak menjadi lebih stabil. Konflik masih membara di Palestina hingga Ukraina. Ketimpangan global kian melebar. Kepercayaan terhadap lembaga multilateral seperti PBB melemah. Negara-negara kuat kembali mengambil langkah unilateral, sementara hukum internasional kerap diterapkan secara tebang pilih terhadap negara-negara lemah.
Lantas apa arti “Semangat Bandung” hari ini? Semangat Bandung bukan soal anti-Barat atau anti-Timur. Ia adalah soal kesetaraan, kedaulatan, dan kerja sama sejati antarbangsa. Dalam dunia yang makin terfragmentasi, kita justru butuh lebih banyak dialog, bukan dominasi; lebih banyak kolaborasi, bukan konfrontasi. (*)
KEYWORD :Konferensi Asia Afrika Konferensi Bandung Semangat Bandung 70 Tahun KAA