Minggu, 20/04/2025 10:12 WIB

Perubahan KUHAP Penting, Faktor Ini Harus Jadi Perhatian

Perubahan Kitab Hukum Acara Pindana (KUHAP) di Indonesia sudah selayaknya dilakukan. Ini alasannya.

Ketuua u=Umum PEDPHI Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan. (Foto: Jurnas/Ist).

Jakarta, Jurnas.com- Perubahan Kitab Hukum Acara Pindana (KUHAP) di Indonesia sudah selayaknya dilakukan karena KUHAP yang ada sudah tidak relevan karena sudah hampir setengah abad digunakan.

"Pembahasan  Rancangan Undang-undang (RUU) KUHAP oleh Komisi III  DPR RI memang sudah  selayaknya dilakukan terutama untuk merevisi atas hukum pidana formil setelah setengah abad kita gunakan. Karena ada banyak problematika serius, seperti adanya praktik intimidasi dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan hingga  perlakuan diskriminatif oleh aparat penegak hukum," kata Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H dalam keterangannya, Sabtu (19/4/2025).

Dikatakan, pembahasan RUU KUHAP yang baru dipandang cukup relevan dilakukan karena adanya urgensitas bagi kepentingan perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa.

"Sejatinya, hukum pidana formil dimaksudkan tak hanya memastikan orang yang bersalah dihukum, namun juga harus melindungi orang yang tidak bersalah dari ancaman hukuman,” tambahnya.

Di sisi lain, tambah Abdul Chair Ramadhan, hukum pidana formil juga harus mampu mengoptimalkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Keadilan prosedural dan keadilan substansial harus dapat dijelmakan dalam setiap jenjang proses hukum.

"Dua keadilan tersebut adalah pilar bagi kepastian hukum. Tak dapat dikatakan ada kepastian hukum, jika tidak ada keadilan prosedural dan keadilan substansial. Dengan demikian RUU KUHAP menekankan pada pelaksanaan penerapan hukum pidana secara terarah dengan parameter yang jelas dan tegas. Peranan kontrol juga jadi bagian penting dalam RUU KUHAP," jelas Abdul Chair Ramadhan.

"Dalam RUU KUHAP ini sudah ada usaha mengantisipasi adanya  rekayasa dalam pemenuhan alat bukti dan dengan unsur-unsur delik yang disesuaikan. Padahal,  selama ini hak-hak tersangka sangat minimalis, namun kini hak-hak para tersangka  telah diatur dengan terperinci seperti hak mendapatkan pendampingan dari advokad sejak awal pemeriksaan, termasuk adanya rekaman pemeriksaan untuk kepentingan keterbukaan (transparansi), dan juga hak untuk mengakses berkas-berkas pemeriksaan. Dengan adanya aturan demikian, maka proses penyidikan guna membuat terang perkara pidana dan pemenuhan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan dapat dinilai sejak dini," tegasnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam AS-SYAFIIYAH ini menyatakan peranan advokad juga lebih aktif. RUU KUHAP juga memberikan hak bagi advokad mengajukan keberatan atas penahanan tersangka yang jadi kliennya, selain melakukan permohonan praperadilan.

"Dalam RUU KUHAP ini juga diatur tentang dimungkinkannya peralihan status tersangka menjadi “saksi mahkota” untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain. Kepastian kedudukan saksi mahkota ini sangat penting dan stategis guna mengungkap delik penyertaan yang memang cukup sulit dalam pembuktiannya sehingga bisa  ditentukan siapa yang jadi pelaku (pleger), siapa yang menyuruh (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitloker) termasuk memastikan adanya kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus). Jadi, peranan saksi mahkota dalam mengungkap tindak pidana demikian diperlukan," papar Ketua Umum PEDPHI ini.

"Maka RUU KUHAP ini sengaja dirancang guna memastikan bekerjanya hukum pidana materil yang berkepastian hukum, berkeadilan dan mampu menghadirkan kemanfaatan. Jadi, peranan dari hukum pada ujungnya adalah kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri.  Dalam kaitan ini, RUU KUHAP telah mengakomodir kepentingan hukum dimaksud, utamanya bagi kepentingan hukum individu dalam hal penyelesaian perkara dengan jalan pemulihan guna perdamaian," urainya.

“Penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) juga diatur dalam RUU KUHAP baru ini. Jika selama ini restorative justice hanya dilakukan saat penyidikan, kini pengaturan keadilan restoratif tak lagi diatur secara parsial dalam peraturan masing-masing lembaga penegak hukum di setiap jenjang peradilan pidana. Kehadiran penyelesaian perkara dengan adanya pemulihan jadi dasar keberlakuan keadilan restoratif sejalan dengan prinsip ultimum remedium. Penggunaan sanksi pidana seharusnya jadi ‘langkah terakhir’ (last resort)," pungkasnya.


KEYWORD :

Perubahan KUHAP Komisi III PEDPHI




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :