
Ilustrasi - Mengapa Hari Kartini identik dengan kebaya? Ini sejarah dan makna budayanya (Foto: Pexels/Kakanda Yonik)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap tanggal 21 April, yang di Indonesia diperingati sebagai Hari Kartini, pemandangan para perempuan Indonesia mengenakan kebaya bukan hal yang asing. Dari sekolah-sekolah hingga gedung perkantoran, suasana Hari Kartini dirayakan dengan semarak—dan kebaya selalu menjadi bagian tak terpisahkan.
Namun, mengapa kebaya begitu erat dikaitkan atau identik dengan Hari Kartini? Padahal, esensi perjuangan Raden Ajeng (RA) Kartini lebih kepada emansipasi perempuan dan kesetaraan hak, bukan sekadar soal pakaian. Lalu, apa sebenarnya hubungan antara kebaya dan Kartini? Berikut adalah ulasannya yang dikutip dari berbagai sumber.
Mengutip berbagai sumber, RA Kartini dikenal sebagai tokoh yang gemar mengenakan kebaya dalam kehidupan sehari-harinya. Bukan sekadar pilihan busana, kebaya bagi Kartini mencerminkan keanggunan, kesederhanaan, dan kekuatan perempuan Jawa.
Dari situlah muncul istilah "kebaya Kartini", yaitu kebaya dengan potongan panjang, kerah setali, dan desain sederhana tanpa banyak ornamen. Model ini dipercaya menggambarkan pribadi Kartini—anggun, cerdas, dan penuh semangat perjuangan.
Tradisi memakai kebaya saat Hari Kartini mulai populer di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah mendorong visualisasi sosok Kartini melalui simbol-simbol feminin dan budaya lokal, termasuk busana kebaya. Tujuannya, untuk menanamkan semangat nasionalisme dan identitas budaya sejak dini, khususnya di kalangan perempuan.
Alhasil, Hari Kartini bukan hanya tentang mengenang perjuangan emansipasi, tapi juga menjadi panggung budaya yang memperlihatkan kekayaan tradisi Indonesia—dengan kebaya sebagai pusat perhatian.
Kebaya dimaknai sebagai simbol perempuan yang berbudaya, lembut, namun memiliki kekuatan dari dalam. Identitas ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi lewat perayaan tahunan Hari Kartini.
Di sisi lain, kebaya sendiri menyimpan sejarah panjang sebagai warisan budaya bangsa. Jejaknya dipercaya sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit dan berkembang dengan pengaruh budaya Arab, Tiongkok, hingga Eropa.
Nama "kebaya" diyakini berasal dari kata Arab “abaya” yang berarti pakaian longgar. Seiring waktu, busana ini bertransformasi dari pakaian bangsawan menjadi milik seluruh kalangan perempuan Nusantara.
Pada tahun 2024, kebaya resmi diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda. Pengakuan ini memperkuat posisi kebaya bukan hanya sebagai busana tradisional, tetapi juga identitas nasional.
Hingga kini, kebaya terus beradaptasi dengan zaman, namun tetap mempertahankan keanggunannya. Para desainer Indonesia pun terus mengembangkan kebaya dalam versi modern tanpa menghilangkan akar budayanya.
Dalam konteks Hari Kartini, kebaya bukan sekadar kostum tahunan, melainkan pengingat akan nilai-nilai yang diperjuangkan Kartini. Nilai itu mencakup keberanian berpikir, kebebasan belajar, dan kemerdekaan bersuara bagi perempuan.
Maka dari itu, merayakan Hari Kartini dengan kebaya sah-sah saja, selama tak melupakan makna yang lebih dalam. Sebab, perjuangan Kartini jauh melampaui apa yang tampak di balik sehelai kain, yakni memberdayakan perempuan, memperjuangkan akses pendidikan, serta membuka ruang kesetaraan dalam segala aspek kehidupan. (*)
KEYWORD :
Hari Kartini Kebaya 21 April Peringatan hari Kartini