
Ilustrasi - Hari Demam Berdarah Nasional (Foto: Kemenkes)
Jakarta, Jurnas.com - Setiap tanggal 22 April, Indonesia memperingati Hari Demam Berdarah Nasional. Momen atau peringatan ini ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya penyakit demam berdarah dengue atau DBD.
Peringatan Hari Demam Berdarah Nasional bukan sekadar seremonial, melainkan ajakan untuk lebih mengenal, mencegah, dan merespons penyakit yang hingga kini masih menjadi ancaman serius di banyak wilayah. Apalagi, Indonesia termasuk negara endemis DBD dengan jumlah kasus yang tinggi setiap tahunnya.
DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina. Nyamuk ini membawa virus setelah menggigit manusia yang sebelumnya sudah terinfeksi.
Karena itu, pengendalian vektor menjadi langkah paling krusial dalam pencegahan. Kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan dan menyingkirkan genangan air sangat menentukan keberhasilan upaya ini.
Gejala DBD muncul sekitar empat hingga sepuluh hari setelah gigitan. Biasanya ditandai dengan demam tinggi hingga 40 derajat Celsius, nyeri otot, sakit kepala berat, hingga muncul ruam atau bintik merah di kulit.
Namun, gejala tersebut kerap disalahartikan sebagai demam biasa. Padahal, jika tidak segera ditangani, DBD bisa memasuki fase kritis yang ditandai gangguan tekanan darah dan risiko perdarahan.
Fase kritis justru sering muncul ketika suhu tubuh mulai turun. Ini membuat banyak pasien terlambat mendapatkan penanganan yang tepat karena mengira dirinya membaik.
Penanganan DBD tidak bisa ditunda, karena komplikasi seperti kerusakan hati, jantung, atau bahkan otak bisa terjadi pada kasus yang parah. Oleh sebab itu, deteksi dini dan pemeriksaan medis sangat disarankan bagi siapa pun yang mengalami demam tinggi tanpa sebab jelas.
Masih banyak kesalahpahaman di masyarakat soal DBD. Salah satunya anggapan bahwa penyakit ini hanya menyerang anak-anak, padahal orang dewasa juga bisa terinfeksi dengan dampak yang sama seriusnya.
DBD juga dianggap hanya menyebar di wilayah tropis, padahal mobilitas global dan perubahan iklim telah memperluas wilayah penyebaran hingga ke negara-negara beriklim sedang. Artinya, siapa pun dan di mana pun tetap memiliki risiko.
Kesalahan lainnya adalah anggapan bahwa nyamuk Aedes hanya aktif di malam hari. Padahal, nyamuk ini justru paling agresif menggigit di pagi dan siang hari, terutama di area yang teduh dan lembap.
Mitos bahwa gejala ringan tak berbahaya juga menyesatkan. Karena tanpa penanganan yang cepat, kondisi ringan bisa berubah menjadi kondisi darurat yang mengancam nyawa.
Sementara itu, penggunaan obat nyamuk dianggap cukup untuk mencegah DBD. Padahal, pencegahan efektif memerlukan tindakan menyeluruh seperti menguras, menutup, dan mendaur ulang barang yang berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.
Semua fakta ini menegaskan bahwa pencegahan DBD tidak bisa dilakukan setengah hati. Dibutuhkan partisipasi aktif setiap individu dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar.
Hari Demam Berdarah Nasional hadir sebagai pengingat bahwa perang melawan nyamuk bukan tanggung jawab satu pihak saja. Ini adalah kolaborasi antara masyarakat, tenaga kesehatan, dan pemerintah.
Dengan kesadaran yang lebih tinggi dan tindakan yang konsisten, Indonesia dapat mengurangi angka kasus DBD secara signifikan. Karena satu tindakan kecil di rumah hari ini bisa menyelamatkan banyak nyawa di kemudian hari. (*)
KEYWORD :Hari Demam Berdarah Nasional 22 April DBD