
Eks Ketua Komisi III DPR, Pieter Zulkifli Simabuea
Jakarta, Jurnas.com - Isu tuduhan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dinilai menjadi komoditas musiman yang terus dihidangkan saat suhu politik meningkat. Padahal, isu ini sejatinya telah berkali-kali dibantah dan dijelaskan secara terbuka oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).
Demikian disampaikan pengamat hukum dan politik Dr Pieter C Zulkifli, SH., MH, dalam analisis politiknya. Pieter Zulkifli mengaku prihatin dengan kondisi tersebut.
Menurutnya, tudingan itu justru secara terus menerus diangkat dengan narasi seolah-olah ada skandal besar yang ditutup-tutupi. Sekalipun, institusi akademik yang bersangkutan telah menegaskan Jokowi adalah alumni resmi Fakultas Kehutanan dengan skripsi dan rekam jejak akademik yang terdokumentasi.
"Tuduhan ini bukan semata tentang keabsahan sebuah ijazah. Ia mencerminkan krisis yang lebih dalam, kegagalan sebagian elite politik dan segmen masyarakat dalam memaknai demokrasi dan cara beroposisi secara sehat," kata Pieter Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Selasa (22/4).
Pieter mengajak publik melihat lebih dalam penyebab fitnah semacam itu terus muncul ke tengah-tengah publik. Termasuk, mencari sosok yang diuntungkan dari kegaduhan yang terjadi.
Mantan Ketua Komisi III DPR ini ingin masyarakat berpikir lebih jernih agar demokrasi bisa terjaga dari erosi nalar dan etika. Apalagi, kata dia, kehidupan di era sekarang tidak kekurangan akses informasi.
"Klarifikasi demi klarifikasi telah disampaikan. Wakil rektor UGM bahkan menyebutkan secara gamblang tahun masuk, tahun lulus, hingga judul skripsi Jokowi. Namun, sebagian pihak terus menggulirkan isu ini dengan nada insinuatif," katanya.
Pieter Zulkifli menuturkan dalam prinsip hukum dikenal adagium actori incumbit probatio, artinya siapa yang mendalilkan, dialah yang wajib membuktikan. Tuduhan tanpa bukti kuat hanya akan menjadi fitnah, bukan kritik.
Sayangnya, logika politik hari ini kerap tidak berjalan beriringan dengan logika hukum ataupun etika. Tuduhan yang lemah justru sering mendapat panggung lebih luas di media sosial dan kanal-kanal digital, menciptakan distorsi persepsi publik.
"Politik kehilangan substansi ketika lebih sibuk menyerang personal daripada mengkritisi kebijakan," kata dia.
Pieter Zulkifli menekankan setiap orang menerima bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi. Pemerintah bahkan harus dikoreksi, dikawal, dan diawasi.
Namun, dia menegaskan jika menyerang seorang mantan presiden, siapa pun orangnya dengan narasi tanpa dasar hukum yang valid bukanlah praktik oposisi yang sehat.
"Itu adalah delusi politik, lahir dari dendam dan kegagalan mengartikulasikan agenda perubahan secara konstruktif," ujarnya.
Dia mengatakan yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa narasi itu bisa berdampak lebih luas. Lebih parahnya, kata Pieter Zulkifli, narasi tersebut mengikis kepercayaan terhadap institusi pendidikan, menciptakan keraguan terhadap stabilitas politik nasional, dan pada akhirnya merugikan iklim investasi.
"Tidak sedikit investor asing yang menjadikan kepastian hukum dan stabilitas politik sebagai parameter utama.
Ketika narasi-narasi seperti ini terus dikapitalisasi tanpa kendali, dampaknya bukan hanya politik domestik, tapi juga reputasi Indonesia di mata dunia," kata Pieter Zulkifli.
Di sisi lain, Pieter Zulkifli berpandangan bila narasi ijazah palsu itu tidak hidup dalam ruang hampa. Dia menyebut isu itu muncul beriringan dengan transisi kekuasaan menuju pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
"Jika kita tarik benang merahnya, kampanye narasi semacam ini bukan semata menyerang Jokowi, tapi bisa menjadi upaya sistematis untuk mengganggu legitimasi pemerintahan berikutnya," kata dia.
Tak hanya itu, Pieter Zulkifli melihat bahwa demonstrasi dan aksi publik yang mengusung isu ijazah palsu Jokowi sering kali dibungkus dengan semangat keterbukaan, namun ironisnya tidak membawa data baru.
"Yang justru muncul adalah nada agitasi, provokasi, dan seruan-seruan yang berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kubangan instabilitas," katanya.
Untuk itu, Pieter Zulkifli berpendapat aparat penegak hukum, tidak bisa terus bersikap permisif dalam merespons isu tersebut. Sekalipun, demokrasi memang memberi ruang untuk berbeda pendapat, tetapi bukan untuk menyebar fitnah.
"Negara tidak boleh abai ketika kebebasan digunakan sebagai tameng untuk merusak. Ketegasan bukanlah musuh demokrasi, melainkan pelindung akal sehat publik," tegas dia.
Pieter Zulkifli mengingatkan bila pemerintahan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka akan dihadapkan pada tantangan berat, antara lain menjaga stabilitas politik, mempercepat pemulihan ekonomi, dan memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang menarik.
Oleh karenanya, kata dia, segala bentuk disinformasi yang melemahkan kepercayaan publik harus dilawan dengan pendekatan hukum yang tegas dan edukasi publik yang menyeluruh.
Lebih jauh, dia mengatakan elite politik dari semua spektrum perlu melakukan instrospeksi. Menurutnya, bangsa Indonesia tidak kekurangan persoalan substansial untuk dibahas dari kemiskinan, pendidikan, hingga perubahan iklim.
"Mari kita arahkan energi politik kita pada isu-isu nyata yang menyentuh hidup rakyat banyak, bukan pada narasi-narasi busuk yang hanya menguntungkan kelompok kecil dengan agenda sempit," kata Pieter Zulkifli.
Dia mengajak semua pihak untuk keluar dari jebakan politik yang remeh temeh. Terpenting, demokrasi Indonesia tidak boleh direduksi menjadi panggung fitnah.
"Ia harus menjadi ruang dialektika gagasan dan integritas. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?" kata Pieter Zulkifli.
KEYWORD :Ijazah Palsu Jokowi Pieter Zulkifli Ijazah Jokowi Isu Komoditas Musiman Suhu Politik Meningkat