
Ilustrasi - Tragedi Amarah (April Makassar Berdarah) 1996, Aksi Tolak Kenaikan Tarif Angkutan Berujung Maut (Foto: Koran Makassar)
Jakarta, Jurnas.com - Hari ini 29 tahun yang lalu, tepatnya pada 24 April 1996, sejarah kelam tercatat di Kota Makassar. Peristiwa yang dikenal sebagai April Makassar Berdarah atau Amarah ini bukan sekadar bentrok biasa antara mahasiswa dan aparat, melainkan simbol perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap menindas rakyat kecil.
Akibatnya, tiga mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) meregang nyawa, ratusan lainnya luka-luka, dan puluhan ditangkap, dalam sebuah demonstrasi atau aksi damai yang berubah menjadi tragedi itu.
Mengutip buku Kewargaan dan Hak-Hak: Pengalaman Kewargaan Mahasiswa, karya Dr. Nursyamsiah Yunus Tekeng dan Muhammad Ridha, tragedi ini dipicu oleh keputusan kontroversial pemerintah pusat dan daerah yang menaikkan tarif angkutan umum.
Kenaikan tarif mikrolet dalam kota Makassar dari Rp 300 menjadi Rp 500, berdasarkan SK Gubernur Sulsel No. 93 Tahun 1996, disusul SK Wali Kota Makassar No. 900/1996, dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi masyarakat kala itu.
Respon pun datang dari mahasiswa. Aksi protes besar-besaran mulai digelar sejak awal April 1996, melibatkan berbagai universitas seperti UMI, Universitas `45, Universitas Hasanuddin, hingga Universitas Negeri Makassar.
Mahasiswa dari berbagai kampus di Makassar itu bersatu dalam gerakan protes. Mereka tidak sekadar memperjuangkan hak mahasiswa, tapi menyuarakan keresahan publik secara luas.
Puncaknya terjadi pada Rabu, 24 April 1996. Ratusan mahasiswa dari UMI berkumpul, menyuarakan aspirasi, namun dibalas dengan kekerasan bersenjata. Aparat keamanan, termasuk kesatuan kavaleri, menyerbu masuk kampus dengan panser dan gas air mata.
Bukan sekadar membubarkan aksi, mereka menembak, memukuli, bahkan menangkap mahasiswa secara brutal. Gas air mata ditembakkan ke arah masjid saat salat Ashar berlangsung, puluhan mahasiswa dianiaya, bahkan ada yang dilempar ke Sungai Pampang — lokasi yang akhirnya menjadi tempat penemuan jasad para korban.
Delapan tahun setelah kejadian, pada 2004, baru digelar sidang disiplin terhadap aparat yang terlibat. Empat perwira polisi dinyatakan bersalah, ada AKP Parambungan, Yeri Santos Mangiri, Iptu If Erwanto, dan Ipda Aldi Subarsono. Namun, hukuman mereka terbilang ringan—teguran keras, pencopotan jabatan, dan tahanan singkat di markas polisi. Tak ada proses peradilan HAM menyeluruh, apalagi keadilan bagi korban dan keluarganya.
Hampir setiap tahun, mahasiswa di Makassar memperingati peristiwa ini. Bukan hanya untuk mengenang mereka yang gugur, tapi juga untuk menuntut keadilan yang tak kunjung datang. Aksi-aksi reflektif seperti mimbar bebas, ziarah, dan demonstrasi damai rutin digelar, sebagai upaya menjaga ingatan kolektif atas tragedi yang nyaris dikubur dalam diam.
Tragedi Amarah bukan sekadar catatan kelam atau pelanggaran HAM. Ia merupakan cerminanan tentang bagaimana suara mahasiswa—yang kerap disebut sebagai moral force bangsa—masih bisa dibungkam dengan kekerasan, bahkan di era yang mengklaim dirinya demokratis.
Sebagai informasi, mengutip Suara Sulsel, hari ini, Kamis 24 April 2025, ribuan mahasiswa UMI akan turun ke jalan memperingati April Makassar Berdarah "Amarah". Dalam surat yang diedarkan Fakultas Teknik UMI, Mukhtar Thahir, dekan juga mengimbau para dosen agar meniadakan kuliah tatap muka karena peringatan tersebut. Perkuliahan bisa dilakukan secara virtual. (*)
KEYWORD :
Tragedi Amarah April Makassar Berdarah 24 April Angkutan