Sabtu, 26/04/2025 01:18 WIB

Hari Otonomi Daerah 25 April, Ini Sejarah, Makna hingga Tujuannya

Hari Otonomi Daerah kembali diperingati secara nasional pada tanggal 25 April 2025. Tahun ini peringatan Hari Otonomi Daerah memasuki tahun ke-29 sejak peringatan pertamanya pada 1996. 

Ilustrasi - Hari Otonomi Daerah 25 April, Ini Sejarah, Makna hingga Tujuannya (Foto: Palangkaraya)

Jakarta, Jurnas.com - Hari Otonomi Daerah di Indonesia kembali diperingati secara nasional pada tanggal 25 April 2025. Tahun ini peringatan Hari Otonomi Daerah memasuki tahun ke-29 sejak peringatan pertamanya pada 1996. 

Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-29 mengusung tema “Sinergi Pusat dan Daerah Membangun Nusantara Menuju Indonesia Emas 2045”. Balikpapan, sebagai gerbang menuju Ibu Kota Nusantara (IKN), ditetapkan sebagai tuan rumah peringatan nasional tahun ini oleh Kementerian Dalam Negeri.

Mengutip berbagai sumber, penetapan Hari Otonomi Daerah didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1996, bertepatan dengan peresmian Daerah Percontohan Otonomi Tingkat II pada 25 April 1995. Tanggal ini dipilih sebagai simbol lahirnya semangat pemerintahan yang lebih mendekat atau membaur kepada rakyat.

Otonomi daerah sendiri merupakan salah satu kebijakan paling penting dalam sejarah politik Indonesia. Kebijakan ini menjadi wujud dari konsep desentralisasi, yaitu penyerahan sebagaian besar wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi berarti pemerintahan sendiri. Adapun otonomi daerah ialah hak, wewenang, dan kewajiaban daerah untuk mengaut dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perunda-undangan yang berlaku.

Dengan kata lain, dalam konteks kenegaraan, ini menandakan bahwa daerah memiliki hak dan kewenangan untuk mengelola urusan pemerintahan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat setempat. Mengutip laman Media Center Singkawang, otonomi daerah itu senafas atau bentuk perwujudan dari konsep desentralisasi.

Desentralisasi menjadi bagian tak terpisahkan dari semangat demokratisasi, terutama setelah era reformasi. Namun, akar konsep ini sudah tertanam jauh sebelumnya, bahkan sejak masa kolonial Belanda pada tahun 1903 lewat kebijakan Desentralisatie Wet yang dikeluarkan oleh Menteri Koloni I.D.F. Idenburg.

Pasca kemerdekaan, prinsip desentralisasi tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 memperkenalkan struktur pemerintahan daerah dengan pembentukan komite nasional di wilayah karesidenan, kabupaten, dan kota.

Kemudian, melalui UU No. 22 Tahun 1948, sistem pemerintahan daerah dibagi menjadi tiga tingkat: provinsi, kabupaten atau kota besar, serta desa atau kota kecil. Perubahan kembali terjadi setelah Pemilu 1955 dengan hadirnya UU No. 1 Tahun 1957 yang mengganti istilah “daerah otonom” menjadi “daerah swatantra”.

Namun, arah kebijakan berubah drastis pada masa Orde Baru melalui UU No. 5 Tahun 1974. Undang-undang ini menegaskan sistem pemerintahan yang sentralistis, di mana kewenangan daerah sangat dibatasi dan dikendalikan dari Jakarta.

Kondisi tersebut mulai digugat pasca perang dingin ketika gelombang demokratisasi dan pro-desentralisasi muncul di banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam situasi ini, Presiden Soeharto menerbitkan Keppres No. 11 Tahun 1996 yang juga menetapkan tanggal 25 April sebagai Hari Otonomi Daerah.

Momentum perubahan besar terjadi setelah Soeharto lengser dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie. Di bawah kepemimpinannya, lahir Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan lebih luas kepada daerah, kecuali urusan seperti politik luar negeri, pertahanan, dan moneter.

Semangat desentralisasi ini disambut hangat oleh berbagai daerah, yang memicu pembentukan banyak daerah otonom baru. Dalam beberapa tahun saja, terbentuk tujuh provinsi, 115 kabupaten, dan 26 kota sebagai entitas otonom baru.

Kini, Indonesia memiliki total 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota yang memiliki otonomi untuk mengelola wilayahnya masing-masing. Angka ini mencerminkan betapa besarnya peran desentralisasi dalam mendorong pemerataan pembangunan dan penguatan demokrasi lokal.

Namun, implementasi otonomi daerah tetap dihadapkan pada berbagai tantangan serius. Di antaranya adalah ketimpangan kapasitas antarwilayah, tumpang tindih kewenangan, dan kasus korupsi di tingkat lokal.

Karena itu, sinergi antara pusat dan daerah menjadi sangat penting dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut. Tema yang diusung pada peringatan tahun ini pun menjadi pengingat bahwa otonomi bukan hanya soal kemandirian, tapi juga soal kolaborasi menuju masa depan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.

Peringatan ini sekaligus menjadi refleksi atas perjalanan panjang otonomi daerah di Indonesia sejak reformasi. Serta menjadi pengingat bahwa desentralisasi bukan semata soal kewenangan, tetapi tanggung jawab bersama dalam membangun bangsa dari daerah.

Hari Otonomi Daerah tak hanya memperingati sejarah panjang desentralisasi di Indonesia, tapi juga menjadi titik tolak untuk terus membangun tata kelola yang lebih baik. Dari desa hingga kota, dari pulau terluar hingga jantung pemerintahan, otonomi adalah wewenang sekaligus energi yang menyatukan hingga menyejahterakan rayat di Indonesia. (*)

KEYWORD :

Hari Otonomi Daerah 25 April Otonomi daerah Desentralisasi




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :