
Ilustrasi - Pemberontakan RMS, Ambisi Soumokil Memisahkan Maluku dari Indonesia (Foto: Ruangguru/Cerdika)
Jakarta, Jurnas.com - Hari ini 75 tahun yang lalu, tepatnya pada 25 April 1950 menjadi titik sejarah penting sekaligus tragis dalam perjalanan bangsa Indonesia. Di hari itu, sebuah negara separatis bernama Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan di Ambon.
Mengutip berbagai sumber, gerakan RMS bukan sekadar perlawanan bersenjata, melainkan sebuah refleksi kompleks dari dinamika politik, etnisitas, dan ambisi pribadi yang menyala di tengah masa transisi pasca-kemerdekaan Indonesia. RMS lahir dari serpihan Negara Indonesia Timur (NIT), sebuah negara bagian buatan Belanda dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS) pasca-Konferensi Meja Bundar.
Di tengah ketidakpastian politik dan ancaman pembubaran NIT, Christian Robert Soumokil, Jaksa Agung NIT, tampil sebagai otak di balik gagasan pemisahan Maluku Selatan dari NKRI. Mengtuip buku `Tantangan dan Rongrongan terhadap Keutuhan Negara dan Kesatuan RI: Kasus Republik Maluku Selatan`, Soumokil merupakan seorang intelektual lulusan Rechts Hoge School Jakarta dan melanjutkan studi hukum di Leiden, Belanda.
Ia dikenal sebagai tokoh hukum cerdas, namun juga seorang federalis fanatik. Baginya, integrasi ke dalam negara kesatuan Indonesia adalah ancaman terhadap hak dan status elite Ambon yang selama ini mendapat keistimewaan dari pemerintah kolonial.
Bersama Andi Aziz, seorang perwira KNIL yang terlibat dalam pemberontakan di Makassar, serta Dolf Metekohy dari kelompok "Sembilan Serangkai", Soumokil merancang langkah-langkah separatisme dengan hati-hati. Mereka memanfaatkan keraguan pasukan KNIL pasca-KMB dan ketakutan akan dominasi "Jawa sentris" di pemerintahan pusat.
Pada 18 April 1950, sebuah rapat akbar di Ambon digelar. Ir. J.A. Manusama, direktur AMS, mempropagandakan bahwa penyatuan Maluku dengan Indonesia akan membawa kehancuran. Dalam suasana penuh tekanan dan ketakutan, rakyat dan tokoh lokal dipaksa mengikuti arus.
Puncaknya terjadi 25 April 1950. J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku Selatan, dengan ancaman senjata dari pasukan KNIL, dipaksa membacakan Proklamasi RMS. Pemerintahan pun dibentuk: Manuhutu sebagai Presiden, Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri, dan sejumlah menteri lainnya termasuk Soumokil sendiri.
Tak lama berselang, Soumokil mengambil alih jabatan Presiden pada 3 Mei 1950, dan mendirikan Angkatan Perang RMS (APRMS) di bawah pimpinan D.J. Samson, eks Sersan Mayor KNIL.
Presiden Soekarno melalui Dr. J. Leimena sempat mencoba jalur damai. Leimena mengusulkan agar RMS membatalkan proklamasi dan tetap menjadi bagian NKRI. Namun, upaya itu ditolak mentah-mentah oleh Soumokil dan sekutunya.
Akibatnya, operasi militer diluncurkan. APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) bergerak cepat dan berhasil merebut Ambon pada November 1950. Namun pertempuran sengit terjadi saat merebut Benteng Nieuw Victoria, yang menewaskan Letkol Slamet Riyadi, salah satu perwira terbaik TNI.
Meski Ambon berhasil direbut, sisa-sisa pasukan RMS terus melakukan perlawanan gerilya di Pulau Seram hingga awal 1960-an. Soumokil sendiri bertahan di sana selama lebih dari satu dekade dengan strategi perang hutan.
Akhirnya, pada 12 Desember 1963, Soumokil berhasil ditangkap oleh pasukan Indonesia. Ia dibawa ke Jakarta dan diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Vonisnya: hukuman mati, yang kemudian dieksekusi pada 1966, menandai berakhirnya perlawanan RMS di tanah air.
Pemberontakan RMS meninggalkan bekas luka sosial dan politik yang mendalam, terutama bagi masyarakat Maluku. Gerakan ini telah memecah belah keluarga, membelah masyarakat dalam kubu pro dan anti-RMS.
Sebagian besar pendukung RMS akhirnya hijrah ke Belanda, dan hingga kini, pemerintahan RMS dalam pengasingan masih eksis di Belanda sebagai simbol nostalgia masa lalu.
Di sisi lain, hingga kini isu terkait RMS masih berseliweran di media sosial, terlebih ketika bertepatan dengan hari proklamasi gerakan tersebut. Bahkan, mengutip Indotimur, baru-baru ini bendera Benang Raja gerakan separatis RMS dikibarkan di unjung Lipe PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
Kasi Humas Polres Halteng Ipda Ramli Soleman membenarkan peristiwa pengibaran bendera RSM di lokasi perusahan tambang di Halmahaera Tengah. Ramli mengaakan, pihaknya tengah melakukan penyelidikan untuk mengungkap dalang di balik pengibaran bendera RMS itu.
Pemberontakan RMS bukan hanya catatan sejarah, tapi pengingat bahwa integrasi bangsa tidaklah mudah. Konflik ini mencerminkan bagaimana ketimpangan, ketidakpercayaan, dan ambisi kekuasaan bisa merusak fondasi kebangsaan jika tidak dikelola dengan bijak.
Makanya, peran pemuda sebagai generasi penerus bangsa sangat penting dalam menjaga keutuhan NKRI. Melalui pendidikan, dialog antarbudaya, dan penguatan identitas kebangsaan, kita bisa menciptakan sistem pemerintahan yang berdaulat dan inklusif.
Dengan semangat kebangsaan yang kuat, gerakan-gerakan separatis seperti RMS tidak akan punya tempat lagi di Indonesia tercinta ini. (*)
KEYWORD :Pemberontakan RMS Soumokil Peristiwa RMS 25 April